Kamis, 02 Juni 2011
pengertian strategi
Pengertian Strategi
Definisi strategi adalah cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis bisa berupa perluasan geografis, diversifikasi, akusisi, pengembangan produk, penetrasi pasar, rasionalisasi karyawan, divestasi, likuidasi dan joint venture (David, p.15, 2004).
Pengertian strategi adalah Rencana yang disatukan, luas dan berintegrasi yang menghubungkan keunggulan strategis perusahaan dengan tantangan lingkungan, yang dirancang untuk memastikan bahwa tujuan utama dari perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh organisasi (Glueck dan Jauch, p.9, 1989).
Pengertian strategi secara umum dan khusus sebagai berikut:
1. Pengertian Umum
Strategi adalah proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai.
2. Pengertian khusus
Strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan inovasi pasar yang baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti (core competencies). Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukan.
Perumusan Strategi
Perumusan strategi merupakan proses penyusunan langkah-langkah ke depan yang dimaksudkan untuk membangun visi dan misi organisasi, menetapkan tujuan strategis dan keuangan perusahaan, serta merancang strategi untuk mencapai tujuan tersebut dalam rangka menyediakan customer value terbaik.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan perusahaan dalam merumuskan strategi, yaitu:
1. Mengidentifikasi lingkungan yang akan dimasuki oleh perusahaan di masa depan dan menentukan misi perusahaan untuk mencapai visi yang dicita-citakan dalam lingkungan tersebut.
2. Melakukan analisis lingkungan internal dan eksternal untuk mengukur kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan dalam menjalankan misinya.
3. Merumuskan faktor-faktor ukuran keberhasilan (key success factors) dari strategi-strategi yang dirancang berdasarkan analisis sebelumnya.
4. Menentukan tujuan dan target terukur, mengevaluasi berbagai alternatif strategi dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki dan kondisi eksternal yang dihadapi.
5. Memilih strategi yang paling sesuai untuk mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang. (Hariadi, 2005).
Tingkat-tingkat Strategi
Dengan merujuk pada pandangan Dan Schendel dan Charles Hofer, Higgins (1985) menjelaskan adanya empat tingkatan strategi.
Keseluruhannya disebut Master Strategy, yaitu: enterprise strategy, corporate strategy, business strategy dan functional strategy.
a) Enterprise Strategy
Strategi ini berkaitan dengan respons masyarakat. Setiap organisasi mempunyai hubungan dengan masyarakat. Masyarakat adalah kelompok yang berada di luar organisasi yang tidak dapat dikontrol. Di dalam masyarakat yang tidak terkendali itu, ada pemerintah dan berbagai kelompok lain seperti kelompok penekan, kelompok politik dan kelompok sosial lainnya. Jadi dalam strategi enterprise terlihat relasi antara organisasi dan masyarakat luar, sejauh interaksi itu akan dilakukan sehingga dapat menguntungkan organisasi. Strategi itu juga menampakkan bahwa organisasi sungguh-sungguh bekerja dan berusaha untuk memberi pelayanan yang baik terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
b) Corporate Strategy
Strategi ini berkaitan dengan misi organisasi, sehingga sering disebut Grand Strategy yang meliputi bidang yang digeluti oleh suatu organisasi. Pertanyaan apa yang menjadi bisnis atau urusan kita dan bagaimana kita mengendalikan bisnis itu, tidak semata-
mata untuk dijawab oleh organisasi bisnis, tetapi juga oleh setiap organisasi pemerintahan dan organisasi nonprofit. Apakah misi universitas yang utama? Apakah misi yayasan ini, yayasan itu, apakah misi lembaga ini, lembaga itu? Apakah misi utama
direktorat jenderal ini, direktorat jenderal itu? Apakah misi badan ini, badan itu? Begitu seterusnya.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu sangat penting dan kalau keliru dijawab bisa fatal. Misalnya, kalau jawaban terhadap misi universitas ialah terjun kedalam dunia bisnis agar menjadi kaya maka akibatnya bisa menjadi buruk, baik terhadap anak didiknya, terhadap pemerintah, maupun terhadap bangsa dan negaranya. Bagaimana misi itu dijalankan juga penting. Ini memerlukan keputusan-keputusan stratejik dan perencanaan
stratejik yang selayaknya juga disiapkan oleh setiap organisasi.
c) Business Strategy
Strategi pada tingkat ini menjabarkan bagaimana merebut pasaran di tengah masyarakat. Bagaimana menempatkan organisasi di hati para penguasa, para pengusaha, para donor dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan untuk dapat memperoleh keuntungan-keuntungan
stratejik yang sekaligus mampu menunjang berkembangnya organisasi ke tingkat yang lebih baik.
d) Functional Strategy
Strategi ini merupakan strategi pendukung dan untuk menunjang suksesnya strategi lain. Ada tiga jenis strategi functional yaitu:
• Strategi functional ekonomi yaitu mencakup fungsi-fungsi yang memungkinkan organisasi hidup sebagai satu kesatuan ekonomi yang sehat, antara lain yang berkaitan dengan keuangan, pemasaran, sumber daya, penelitian dan pengembangan.
• Strategi functional manajemen, mencakup fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, implementating, controlling, staffing, leading, motivating, communicating,
decision making, representing, dan integrating.
• Strategi isu stratejik, fungsi utamanya ialah mengontrol lingkungan, baik situasi lingkungan yang sudah diketahui maupun situasi yang belum diketahui atau yang selalu berubah (J. Salusu, p 101, 1996).
Tingkat-tingkat strategi itu merupakan kesatuan yang bulat dan menjadi isyarat bagi setiap pengambil keputusan tertinggi bahwa mengelola organisasi tidak boleh dilihat dari sudut kerapian administratif semata, tetapi juga hendaknya memperhitungkan soal
“kesehatan” organisasi dari sudut ekonomi (J. Salusu, p 104, 1996).
Jenis-jenis Strategi
Banyak organisasi menjalankan dua strategi atau lebih secara bersamaan, namun strategi kombinasi dapat sangat beresiko jika dijalankan terlalu jauh. Di perusahaan yang besar dan terdiversifikasi, strategi kombinasi biasanya digunakan ketika divisi-divisi yang
berlainan menjalankan strategi yang berbeda. Juga, organisasi yang berjuang untuk tetap hidup mungkin menggunakan gabungan dari sejumlah strategi defensif, seperti divestasi, likuidasi, dan rasionalisasi biaya secara bersamaan.
Jenis-jenis strategi adalah sebagai berikut:
1. Strategi Integrasi
Integrasi ke depan, integrasi ke belakang, integrasi horizontal kadang semuanya disebut sebagai integrasi vertikal. Strategi integrasi vertikal memungkinkan perusahaan dapat mengendalikan para distributor, pemasok, dan / atau pesaing.
2. Strategi Intensif
Penetrasi pasar, dan pengembangan produk kadang disebut sebagai strategi intensif
karena semuanya memerlukan usaha-usaha intensif jika posisi persaingan perusahaan dengan produk yang ada hendak ditingkatkan.
3. Strategi Diversifikasi
Terdapat tiga jenis strategi diversifikasi, yaitu diversifikasi konsentrik, horizontal, dan konglomerat. Menambah produk atau jasa baru, namun masih terkait biasanya disebut diversifikasi konsentrik. Menambah produk atau jasa baru yang tidak terkait untuk pelanggan yang sudah ada disebut diversifikasi horizontal. Menambah produk atau jasa baru yang tidak disebut diversifikasi konglomerat.
4. Strategi Defensif
Disamping strategi integrative, intensif, dan diversifikasi, organisasi juga dapat menjalankan strategi rasionalisasi biaya, divestasi, atau likuidasi.
Rasionalisasi Biaya, terjadi ketika suatu organisasi melakukan restrukturisasi melalui penghematan biaya dan aset untuk meningkatkan kembali penjualan dan laba yang sedang
menurun. Kadang disebut sebagai strategi berbalik (turnaround) atau reorganisasi, rasionalisasi biaya dirancang untuk memperkuat kompetensi pembeda dasar organisasi. Selama proses rasionalisasi biaya, perencana strategi bekerja dengan sumber daya terbatas dan menghadapi tekanan dari para pemegang saham, karyawan dan media.
Divestasi adalah menjual suatu divisi atau bagian dari organisasi. Divestasi sering digunakan untuk meningkatkan modal yang selanjutnya akan digunakan untuk akusisi atau investasi strategis lebih lanjut. Divestasi dapat menjadi bagian dari strategi rasionalisasi biaya menyeluruh untuk melepaskan organisasi dari bisnis yang tidak menguntungkan, yang memerlukan modal terlalu besar, atau tidak cocok dengan aktivitas lainnya dalam perusahaan. Likuidasi adalah menjual semua aset sebuah perusahaan secara bertahap sesuai nilai nyata aset tersebut. Likuidasi merupakan pengakuan kekalahan dan akibatnya bisa merupakan strategi yang secara emosional sulit dilakukan. Namun, barangkali lebih baik berhenti beroperasi daripada terus menderita kerugian dalam jumlah besar.
5. Strategi Umum Michael Porter
Menurut Porter, ada tiga landasan strategi yang dapat membantu organisasi memperoleh keunggulan kompetitif, yaitu keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus. Porter menamakan ketiganya strategi umum.
Keunggulan biaya menekankan pada pembuatan produk standar dengan biaya per unit sangat rendah untuk konsumen yang peka terhadap perubahan harga. Diferensiasi adalah strategi dengan tujuan membuat produk dan menyediakan jasa yang dianggap unik di seluruh industri dan ditujukan kepada konsumen yang relatif tidak terlalu peduli terhadap perubahan harga. Fokus berarti membuat produk dan menyediakan jasa yang memenuhi keperluan sejumlah kelompok kecil konsumen.
pengertian politik
Pengertian Politik
Kata “Politik” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang akar katanya adalah polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara dan teia, berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian asas, prinsip, keadaaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Politics dan policy mempunyai hubungan yang erat dan timbal balik. Politics memberikan asas, jalan, arah, dan medannya, sedangkan policy memberikan pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan, dan arah tersebut sebaik-baiknya.
Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan negara dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada.
Dengan demikian, politik membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan (policy), dan distribusi atau alokasi sumber daya.
a. Negara
Negara merupakan suatu organisasi dalam satu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang ditaati oleh rakyatnya.
b. Kekuasaaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginannya.
c. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah aspek utama politik. Jadi, politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum dan keputusan yang diambil menyangkut sektor publik dari suatu negara.
d. Kebijakan Umum
Kebijakan (policy) merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang atau kelompok politik dalam memilih tujuan dan cara mencapai tujuan itu.
e. Distribusi
Distribusi adalah pembagian dan pengalokasian nilai-nilai (value) dalam masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang diinginkan dan penting, ia harus dibagi secara adil.
Pengertian Strategi
Strategi berasal dari bahasa Yunani strategia yang diartikan sebagai “the art of the general” atau seni seorang panglima yang biasanya digunakan dalam peperangan. Karl von Clausewitz (1780-1831) berpendapat bahwa strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk memenangkan peperangan. Sedangkan perang itu sendiri merupakan kelanjutan dari politik.
Dalam pengertian umum, strategi adalah cara untuk mendapat-kan kemenangan atau pencapaian tujuan. Dengan demikian, strategi tidak hanya menjadi monopoli para jendral atau bidang militer, tetapi telah meluas ke segala bidang kehidupan.
Politik dan Strategi Nasional
Politik nasional diartikan sebagai kebijakan umum dan pengambilan kebijakan untuk mencapai suatu cita-cita dan tujuan nasional. Dengan demikian definisi politik nasional adalah asas, haluan, usaha serta kebijaksanaan negara tentang pembinaan (perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, dan pengendalian) serta penggunaan kekuatan nasional untuk mencapai tujuan nasional. Sedangkan strategi nasional adalah cara melaksanakan politik nasional dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh politik nasional.
Dasar Pemikiran Penyusunan Politik dan Strategi Nasional
Penyusunan politik dan strategi nasional perlu memahami pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam sistem manajemen nasional yang berlandaskan ideologi Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional.
Penyusunan Politik dan Strategi Nasional
Politik dan strategi nasional yang telah berlangsung selama ini disusun berdasarkan sistem kenegaraaan menurut UUD 1945. sejak tahun 1985 telah berkembang pendapat yang mengatakan bahwa jajaran pemerintah dan lembaga-lembaga yang tersebut dalam UUD 1945 merupakan “suprastruktur politik”. Lebaga-lembaga tersebut adalah MPR, DPR, Presiden, DPA, BPK, MA. Sedangkan badan-badan yang ada dalam masyarakat disebut sebagai “infrastruktur politik”, yang mencakup pranata politik yang ada dalam masyarakat, seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan kelompok penekan (pressure group). Suprastruktur dan infrastruktur politik harus dapat bekerja sama dan memiliki kekuatan yang seimbang.
Mekanisme penyusunan politik dan strategi nasional di itngkat suprastruktur politik diatur oleh presiden/mandataris MPR. Sedangkan proses penyusunan politik dan strategi nasional di tingkat suprastruktur politk dilakukan setelah presiden menerima GBHN.
Strategi nasional dilaksanakan oleh para menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non departemen berdasarkan petunjuk presiden, yang dilaksanakan oleh presiden sesungguhnya merupakan politik dan strategi nasional yang bersifat pelaksanaan.
Pandangan masyarakat terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, maupun bidang Hankam akan selalu berkembang karena:
a. Semakin tinggina kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Semakin terbukanya akal dan pikiran untuk memperjuangkan haknya.
c. Semakin meningkatnya kemampuan untuk menentukan pilihan dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
d. Semakin meningkatnya kemampuan untuk mengatasi persoalan seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditunjang oleh kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
e. Semakin kritis dan terbukanya masyarakat terhadap ide baru.
Sertifikasi Politik Nasional
Sertifikasi politik (kebijakan) nasional dalam Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Tingkat Penentu Kebijakan Puncak
1). Tingkat kebijakan puncak meliputi Kebijakan tertinggi yang menyeluruh secara nasional dan mencakup: penentuan Undang-undang Dasar, penggarisan masalah makro politik bangsa dan negara untuk merumuskan idaman nasional (national goals) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. kebijakan tingkat puncak ini dilakukan oleh MPR dengan hasil rumusan dalam GBHN dan ketapan MPR.
2). Dalam hal dan keadaaan yang menyangkut kekuasaan kepala negara seperti tercantum pada pasal-pasal 10 s.d. 15 UUD 1945, tingkat penentuan kebijakan puncak ini juga menackup kewenangan presiden sebagai kepala negara.
b. Tingkat Kebijakan Umum
Tingkat kebijakan umum merupakan tingkat kebijakan di bawah tingkat kebijakan puncak, yang lingkupnya juga menyeluruh nasional. Hasil-hasilnya dapat berbentuk:
1). Undang-undang yang kekuasaan pembuatannya terletak di tangan presiden dengan persetujuan DPR (UUD 1945 pasal 5 ayat (1) ).
2). Peraturan pemerintah untuk mengatur pelaksanaan undang-undang yang wewenang penerbitannya berada di tangan presiden (UUD 1945 pasal 5 ayat (2) ).
3). Keputusan atau instruksi presiden, yang berisi kebijakan-kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang wewenang pengeluarannya berada di tangan presiden (UUD 1945 pasal 4 ayat (1) ).
4). Dalam keadaan tertentu dapat pula dikeluarkan Maklumat Presiden.
c. Tingkat Penentuan Kebijakan Khusus
Kebijakan khusus merupakan penggarisan terhadap suatu bidang utama (major area) pemerintahan.
d. Tingkat Penentuan KebijakanTeknis
Kebijakan teknis merupakan penggarisan dalam satu sektor dari bidang utama di atas dalam bentuk prosedur serta teknik untuk mengimplementasikan rencana, program, dan kegiatan.
e. Dua Macam Kekuasaan dalam Pembuatan Aturan di Daerah
1). Wewenang penentuan pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat di daerah terletak di tangan gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yuridikasinya masing-masing.
2). Kepala Daerah berwenang mengeluarkan kebijakan pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD.
Politik Pembangunan Nasional dan Manajemen Nasional
Tujuan politik bangsa Indonesia telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945aline ke-4, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
a. Makna Pembangunan Nasional
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global.
Tujuan pembangunan nasional itu sendiri adalah sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia.
b. Manajemen Nasional
Manajemen nasional pada dasarnya merupakan sebuah sistem, sehingga lebih tepat jika kita menggunakan istilah “sistem manajemen nasional”. Orientasinya adalah pada penemuan dan pengenalan (identifikasi) faktor-faktor strategis serta menyeluruh dan terpadu.
Pada dasarnya sistem manajemen nasional merupakan perpaduan antara tata nilai, struktur, dan proses untuk mencapai kehematan, daya guna, dan hasil guna sebesar mungkin dalam menggunakan sumber dana dan daya nasional demi mencapai tujuan nasional.
a. Unsur, Struktur, dan Proses
Unsur-unsur utama sistem manajemen nasional dalam bidang ketatanegaraan meliputi:
1). Negara sebagai “organisasi kekausaan” mempunyai hak dan peranan atas pemilikan, pengaturan, dan pelayanan yang diperlakukan dalam mewujudkan cita-cita bangsa.
2). Bangsa Indonesia sebagai unsur “Pemilik Negara” berperan dalam menentukan sistem nilai dan arah/haluan/kebijak-sanaan negara yang digunakan sebagai landasan dan pedoman bagi penyelenggaraan fungsi-fungsi negara.
3). Pemerintah sebagai unsur “Manajer atau Penguasa” berperan dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerin-tahan umum dan pembangunan kearah cita-cita bangsa dan kelangsungan serta pertumbuhan negara.
4). Masyarakat adalah unsur “Penunjang dan Pemakai” yang berperan sebagai kontributor, penerima, dan konsumen bagi berbagai hasil kegiatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan tersebut di atas.
Sejalan dengan pokok pikiran di atas, unsur-unsur utama SISMENNAS tersebut secara struktural tersusun atas emapt tatanan (setting). Yang dilihat dari dalam ke luar adalah Tata Laksana Pemerintahan (TLP), Tata Administrasi Negara (TAN), Tata Politik Nasional (TPN), dan Tata Kehidupan Masyrakat (TKM).
b. Fungsi Sistem Manajemen Nasional
SISMENNAS memiliki fungsi pokok “pemsyrakatan politik” Hal ini berarti segenap usaha dan kegiatan SISMENNAS diarahkan kepada penjaminan hak dan penertiban kewajiban rakyat. Hak rakyat pada pokoknya adalah terpenuhinya berbaai kepentingan, sedangkan kewajiban rakyat pada pokoknya adalah keikutsertaaan dan tanggung jawab atas terbentuknya situasi dan kondisi kewarganegaraan yang baik.
Dalam proses Arus Masuk terdapat dua fungsi, yaitu pengenalan kepentingan dan pemilihan kepemimpinan. Sedangkan pada aspek Arus Keluar, SISMENNAS diharapkan menghasilkan:
1. Aturan, norma, patokan, pedoman, dan lain-lain, yang secara singkat dapat disebut kebijaksanaan umum.
2. Penyelenggaraan, penerapan, penegakan, maupun pelaksanaan berbagai kebijaksanaan nasional.
3. Penyelesaian segala macam perselisihan, pelanggaran, dan penyelewengan yang timbul sehubungan dengan kebijaksanaan umum serta program tersebut dalam rangka pemeliharaan tertib hukum.
Otonomi Daerah
Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan salah satu wujud politik dan strategi nasional secara teoritis telah memberikan dua bentuk otonomi kepada dua daerah, yaitu otonomi terbatas bagi daerah propinsi dan otonomi luas bagi daerah Kabupaten/Kota. Perbedaan Undang-undang yang lama dan yang baru ialah:
1. Undang-undang yang lama, titik pandang kewenangannya dimulai dari pusat (central government looking).
2. Undang-undang yang baru, titik pandang kewenangannya dimulai dari daerah (local government looking).
Kewenangan Daerah
1. Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999tenang Otonomi Daerah, kewenagan daerah mencakup seluruh kewenangan bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2. Kewenagnan bidang lain, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro.
3. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah,
a. DPRD sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai eksekutif daerah dibentuk di daerah.
b. DPRD sebagai lwmbaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahanauntukmelaksanakan demokrasi
1). Memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
2). Memilih anggota Majelis Permusawartan Prakyat dari urusan Daerah.
3). Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota.
4. Membentuk peraturan daerah bersama gubernur, Bupati atas Wali Kota.
5. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama gubernur, Bupati, Walikota.
6. Mengawasi pelaksanaan keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pelaksanaan APBD, kebijakan daerah, pelaksanaan kerja sama internasional di daerah, dan menampung serta menindak-lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat.
Implementasi Politik dan Strategi Nasional yang Mencakup Bidang-bidang Pembangunan Nasional
1. Visi dan Misi GBHN 1999-2004
Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Implementasi Polstranas di Bidang Hukum
3. Implementasi Polstranas di Bidang Ekonomi
4. Implementasi Polstranas di Bidang Politik
a. Politik Dalam Negeri.
b. Politik Luar Negeri.
c. Penyelenggaraan Negara.
d. Komunikasi, Informasi, dan Media Massa.
e. Agama.
f. Pendidikan.
5. Implementasi di Bidang Sosial dan Budaya
a. Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial.
b. Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata.
c. Kedudukan dan Peranan Perempuan.
d. Pemuda dan Olahraga.
e. Pembangunan Daerah.
f. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
6. Implementasi di Bidang Pertahanan dan Keamanan
a. Kaidah Pelaksanaan.
b. Keberhasilan Politik dan Stra
strategi dalam pembangunan nasional
STRATEGI DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL
STRATEGI DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL
Strategi Pembangunan Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009 menetapkan 2 (dua) strategi pokok,yaitu:
1. Strategi penataan kembali Indonesia yang diarahkan untuk menyelamatkan system ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan semangat,jiwa,nilai dan consensus dasar yang melandasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi Pancasila; Undang-undang Dasar 1945(terutama pembukaan Undang-Undang Dasar 1945); tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tetap berkembangnya pluralism dan keragaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
2. Strategi pembangunan Indonesia yang diarahkan untuk membangun Indonesia di segala bidang yang merupakan perwujudan dari amanat yang tertera jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terutama dalam pemenuhan dasar rakyat dan penciptaan landasan pembangunan yang kokoh.
Sedangkan Strategi Pembagunan daerah Propinsi Jawa Barat yang tertuang dalam dokumen pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat tahun 2003-2007, menetapkan 15 strategi pokok sebagai berikut:
• Meningkatkan kualitas demokrasi untuk mempercepat proses reformasi di segala bidang.
• Meningkatkan efektifitas birokrasi melalui peningkatan kualitas aparatur dan kualitas pelayanan.
• Memelihara ketertiban umum,ketentraman dan stabilitas keamanan.
• Meningkatkan penegakan hukum dalam segala bidang.
• Mempertahankan nilai-nilai agama dan budaya luhur masyarakat Jawa Barat (religious, silih asih, silih asah dan silih asuh) untuk mengantisipasi masuknya budaya dari luar yang dapat mempengaruhi budaya daerah.
• Meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan ,kesehatan dan lapangan pekerjaan.
• Meningkatkan kapasitas kemampuan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi.
• Mengembangkan kegiatan utama ekonomi (agribisnis, pariwisata, SDM kelautan, industri manufaktur dan jasa) yang berbasis sumber daya local dengan system ekonomi kerakyatan.
• Memperkuat keterkaitan usaha untuk memantapkan struktur ekonomi.
• Mengurangi ketimpangan sumber daya ekonomi (SDM, teknologi, dana, pasar, dan prasarana) antar wilayah.
• Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan untuk keseimbangan perkembangan antar wilayah.
• Meningkatkan dan mengembangkan infrastruktur wilayah yang mendukung terwujudnya struktur ruang yang mantap.
• Mewujudkan komposisi kawasan lindung 45 persen dan kawasan budidaya 55 persen pada tahun 2010 sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat.
• Meningkatkan kualitas daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup melalui optimalisasi pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
• Mengendalikan pencemaran air, tanah dan udara di kawasan perkotaan dan perdesaan.
II. VISI DAN MISI STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL
1. Visi
• Terwujudnya kehidupan masyarakat,bangsa dan Negara yang aman, bersatu, rukun, dan damai.
• Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak azasi manusia.
• Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan kehidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.
• Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai.
• Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis.
• Serta mewujudkan Indonesia yang sejahtera.
1. Misi
• Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai.
• Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis.
• Serta mewujudkan Indonesia yang sejahtera.
sistem politik diberbagai negara
System politik diberbagai negara
PERBEDAAN SISTEM POLITIK BERBAGAI NEGARA
Perbedaan Sistem Politik Berbagai Negara
Perbedaan sistem politik antara negara satu dengan negara lain, merupakan hal yang wajar dan alami, karena setiap negara memiliki pengalaman sejarah yang berbeda-beda. Setiap negara memiliki ciri-ciri khusus, baik dari segi ideologi, sistem politik, karakter kehidupan sosial, corak kebudayaan, lingkungan alam yang tidak sama dengan bangsa-bangsa lain. Sejarah perjuangan suatu bangsa dan perkembangan politiknya ikut berperan dalam menentukan sistem politik yang dilandasi oleh ideologi, kepribadian bangsa, serta kondisi ekonomi, sosial, dan budaya dari negara yang bersangkutan.
1. 1. Sistem Politik Negara-Negara Maju
Sistem politik beberapa negara maju akan diuraiakan untuk mengetahui perbedaan antara negara satu dengan negara lainnya, terutama negara-negara yang mewakili salah satu model system politik, misalnya sistim politik Inggris mewalili model demokrasi parlementer dengan corak liberal, rusia atau Uni Soviet mewakili demokrasi sosial/komunis, Amerika Serikat mewakili model demokrasi presidensial, prancil menggunakan model campuran antara system parlementer dan presidensial, dan system politik Jepang sebagai Negara kuat di Asia.
a. Sistim Politik Inggris dan Negara-Negara Eropa Barat
Untuk pertama kali dalam sejarah, rakyat inggris berjuang melawan kekuasaan raja yang memiliki kekuasaan raja yang memiliki kekuasaan mutlak atau absolut, dan berhasil memaksa rajanya untuk menandatangani piagam-piagam yang mengatur hak dan kewajiban raja Inggris. Piagam piagam itu sampai sekarang enjadi konstitusi bagi kerajaan Inggris. Piagam Magna Charta 1215 disebut The Great Council, multi-multi adalah suatu Dewan Penasehat Raja yang terdiri pada Baron (bangsawan) yang mewakili daerahnya. Perkembangan selanjutnya, ternyata The Great Council ini merupakan benih demokrasi karena dewan itu kelak berubah menjadi parlemen yang beranggotakan wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum.
Sistem politik di Inggris adalah demokrasi dengan sistem parlementer yang menganut aliran liberalistik, yaitu mendasarkan dan mengutamakan kebebasan individu yang seluas-luasnya. Sistem politik Inggris kemudian banyak dipraktikkan pula di negara-negara Eropa Barat.
Raja atau ratu merupakan lambang persatuan dan kesatuan, yang
senantiasa dibanggakan, adat dan tradisi dipertahankan, pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri yang dikuasai oleh partai yang menang dalam pemilihan umum. Namun demikian, partai oposisi tetap sebagai pendamping. Secara keseluruhan, mereka bekerja untuk raja atau ratu. Partai-partai yang memperebutkan kekuatan di parlemen adalah Partai Konservatif dan Partai Buruh. Parlemen Inggris terdiri atas dua kamar, yaitu House House of Commons yang diketuai perdana menteri, dan House of Lords. Inggris dikenal sebagai negara induknya parlemen, dan sistem pemerintahan kerajaan. Inggris dijadikan model pemerintahan perlementer yang menganut paham liberal.
b. Sistem Politik Uni Soviet (Masa Lalu) dan Negara-Negara Eropa Timur
Sistem pemerintahan di Eropa Timur dikenal dengan sistem pemerintahan proletaris atau komunis. Komunisme multi-multi muncul di Uni Soviet, karena merupakan hasil revolusi 1917 yang meruntuhkan kekuasaan Tsar yang telah berusia ratusan tahun. Semula mereka berkeinginan untuk meniadakan kediktatoran lalu mendirikan pemerintahan rakyat. Berdasar dari tinjauan filosofis Karl Marx dan Lenin tentang tujuan manusia dan negara, mereka menolak pertimbangan moral, agama dianggap sebagai kendala, senantiasa mencanangkan propaganda anti imperialis dan kapitalis, serta membangkitkan kebanggaan berjuang untuk kemegahan negara.
Dalam sistem ini, usaha pertama sebenarnya ditujukan untuk kemakniuran rakyat hanyak (kaum proletar, tetapi karena kemudian rakyat banyak tersebut dihimpun dalam organisasi kep ataian (buruh tani, pemuda, wanita) maka akhirnya menjadi dorninasi partai tunggat yang mutlak, yaitu partai komunis. Ajaran komunis berpangkal dari ajaran Marxisme dan Leninisme, yaitu-bermula dari ajaran Karl Marx (1818¬1883) yang kemudian dipraktikkan oleh Lenin dengan mendirikan pemerintahan komunis di Uni Soviet. Di samping itu,Yoseph Stalin (1879-1953) mempunyai peranan penting pula dalam menyebar luaskan komunis, karna Stalin yang menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis pada tahun 1922, berhasil melebarkan pengaruhnya ke negara-negara Eropa Timur, yaitu Cekoslovakia, Jerman Timur, Yugoslavia, Polandia, Hongaria, dan lain-lain. Sedangkan di Asia, negarawan Cina yaitu Mao Tse Tung merupakan tokoh kuat yang menyebarkan komunis di seluruh dunia.
Paham komunis mengutamakan kepentingan kolektif dan menghapuskan hak individu untuk kemudian menjadi pejuang-pejuang partai. Partai komunis menjadi satu-satunya partai yang tidak memiliki saingan, dan monopoli keadaan, mendominasi, keinginan partai komunis adalah keinginan negara. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah diktator-proletariat.
Lembaga tertinggi di Negara ini adalah Supreme Soviet yang terdiri dari dua kamar dan masing-masing mempunyai kekuasaan yang seimbang. Lembaga tersebut, yaitu Soviet of the Union, dan Soviet of the Nationalities. Di dalam Supreme Soviet dibentuk lagi sebuah Presidium yang ketuanya menjadi Presiden Rusia. Pada prinsipnya lembaga keperesidenan ini bersifat kolektif yang terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua pertama ditambah dengan wakil ketua lain, yang diambil dari 15 (limabelas) orang para ketua Soviet Tertinggi dari 15 (lima belas) Uni Republik, 1 (satu) orang sekretaris, dan 21 (dua puluh satu) orang anggota. Perkembangan selanjutnya setelah runtuhnya Uni Soviet, masing-masing republiknya bersatu dalam CIS ( Commontwealth of Independent Srates).
c. Sistem Politih Amerika Serikat
Amerika Serikat adalah negara federal ( negara serikat ) yang terdiri dari negara¬-negara bagian yang sama sekali terpisah dengan negara induknya, kecuali dalam keamanan bersama. Bahkan negara-negara bagian mempunyai undang-undang sendiri. Amerika Serikat adalah satu-satunya negara yang melaksanakan teori Trias Politica secara konsekuen, yaitu pemisahan kekuasaan dengan tegas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Badan legislatif terdiri dari dua kamar (bicameral), yaitu Senate yang beranggotakan wakil-wakil negara bagian, masing-masing 2 (dua) orang senator, dan House of Representative beranggotakan wakil-wakil dari negara bagian yang jumlahnya tergantung dari jumlah penduduk masing-masing negara bagian. Presiden melakukan kekuasaan eksekutif, dan dipilih langsung oleh rakyat. Kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh Congress (Senate dan House of Representative), sedangkan kekuasaan yudikatif dilakukan oleh Mahkamah Agung (Supreme Court of Justice).
Setelah Congress menyusun sebuah rancangan undang-undang, kemudian rancangan itu diserahkan kepada presiden untuk mendapatkan pengesahan. Apabila presiden tidak menyetujui isi rancangan undang-undang itu, presiden berhak untuk menolaknya dan tidak mengesahkannya (hak veto). Rancangan undang-undang yang diveto oleh presiden diserahkan kembali kepada Congress, Congress akan meninjaunya kembali dengan memerhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh presiden. Apabila dari hasil peninjauan Congress itu ternyata bahwa sedikitnya 2/3 dari seluruh anggota Congress tetap menyetujui rancangan undang-undang itu maka rancangan undang-undang itu harus disahkan oleh presiden. Dengan sistem pemisahan kekuasaan ini, akan terjadi check and balance yang benar-benar sempurna antarlembaga-lembaga kekuasaan tersebut.
Semua negara bagian harus berbentuk republik dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Di negara ini, hanya ada dua partai politik yang memperebutkan jabatan politik, yaitu Partai Demokrasi dan Partai Republik. Hampir setiap saat rakyat Amerika Serikat melakukan pemilihan umum dalam rangka pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan gubernur dan wakil gubernur, walikota, dewan kota, anggota Senat, anggota House of Representative, dan pejabat-pejabat politik di negara bagian. Sistem pemerintahan yang dijalankan di Amerika Serikat adalah sistem presidensial.
Indonesia juga menerapkan sistem pemerintahan presidensial, namun tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan, melainkan sistem pembagian kekuasaan, artinya antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif tidak benar-benar terpisah tetapi masih ada hubungan kerja sama antara lembaga satu dan lembaga lainnya.
d. Sistem Politik Prancis
Bermuda dari refolusi Prancis tahun 1789, rakyat menjebol penjara Bastille yang merupakan lembaga monarki absolut, dan berlanjut dengan hubungan mati bagi raja Louis XIV sekeluarga, penghapusan hak-hak istimewa kaum bngsawan, serta ditetapkannya pernyataan hak asasi dan warga negara (Declaration des droits de I’ home et ducitoyen) maka pemerintahan demokrasi di Prancis dimulai dengan semboyam liberti, egalite, fraternite Kemerdekaan, persamaan, Persaudaraan/Persatuan).
Seperti halnya di Indonesia, kita mengenal pemerintahan Orde Lama, dan orde baru maka di Prancis pun dikenal pula adanya pemerintahan pada republic negara Republik Kesatuan.
Sejak pemerintahan republik kelima (1958), kedudukan presiden dapal dapat dikatakan kuat, karena walaupun dewan materi dipimpin oleh perdana menteri, tetapi presidenlah yang mengangkat perdana menteri, dan presidenlah yang mengetuai sidang kabinet. Kedudukan parlemen juga kuat, karena dapat menjatuhkan perdana menteri dengan mosi tidak percaya, tetapi tidak dapat menjatuhkan presiden, bahkan sebaliknya presiden dapat membubarkan parlemen (Assemble National ). Presider merupakan pelindung (Protektor) konstitusi dan pelerai (arbiter) dalam tiap persoalan yang, timbul di antara lembaga-lembaga pemerintahan. Dewan menteri (kabinel) bertanggung jawab kepada Assemble Nationale. Badan legislatif (parlemen) terdi dari dua kamar, yaitu senat dan assemble rationale.
e. Sistem Politik Jepang
Jepang telah mengalami berbagai masalah besar, baik dalam Perang Dunia Pertama maupun Perang Dunia Kedua. Dalam perang Dunia Kedua, Jepang, Italia, dan Jerman dikeroyok oleh pasukan multinasional pada waktu itu, yang beranggotakan hampir seluruh negara-negara di dunia yang dipimpin Amerika Serikat, Soviet, dan Inggris. Kemudian Jepang, Jerman, dan Italia kalah. Jepang menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi Bom Atom.
Mengenai sistem politiknya, perdana menteri Jepang mengepalai sebuah kabinet, dan sekaligus memimpin partai mayoritas di Majelis Rendah (Shugiin), dan secara kolektif bertanggung jawab kepada Parlemen yang disebut Diet/Kokkai. Perdana menteri dan kabinetnya harus meletakkan jabatan bila tidak memperoleh kepercayaan lagi dari Majelis Rendah. Parlemen Jepang terdiri dari dua badan, yaitu Majelis Rendah (Shugiin) dan Majelis Tinggi (Sangiin). Majelis Tinggi terdiri dari wakil rakyat yang mewakili seluruh rakyat Jepang, yang sebelum Perang Dunia Kedua badan ini hanya diisi oleh kaum bangsawan. Majelis ini berhak menangguhkan berlakunya suatu undang-undang. Majelis rendah memegang kekuasaan legislatif yang sebenarnya. Anggotanya dipilih setiap empat tahun sekali, kecuali apabila dibubarkan lebih awal dari masa yang telah ditentukan. Kekuasaan yudikatif diserahkan kepada Mahkamah Agung yang membawahi badan-badan peradilan yang didirikan berdasarkan undang-undang.
1. 2. Sistem Politik di Negara-Negara Berkembang
Untuk sistem politik di negara-negara berkembang akan dibahas sistem poilik Cina, Iran, dan Arab Saudi, dan Israel yang merupakan contoh berbagai system politik yaitu sistem demokrasi rakyat (komunis), sistem politik di negara-negara Islam, dan sistem demokrasi parlementer di Israel.
1. a. Sistem Politik Cina
Republik Rakyal Cina berdiri tahun 1949 setelah menumbangkan dinasti Cing yang berusia ratusan tahun. Tetapi barusan secara konstitusi cina ditetapkan dalam congress rakyat nasional, yang menyebutkan antra lain bahwa demokrasi rakyat di pimpin oleh kelas pekerja dalam hal ini dikelola oleh Partai Komunis Cina sebagai inti kepemimpinan pemerintah.
Dalam kuasa eksekutif, jabatan kepala negara dihapuskan maka orang pertama dalam kepemimpinan Partai Komunis Cina yang menggantikan jabatan ini yaitu ketua Partai itu sendiri, sedangkan Sekretaris Jenderal partai merupakan penyelenggara pemerintahan tertinggi setingkat Perdana Menteri. Kekuasaan legislatif dipegang oleh kongres rakyat nasional-yang didominasi oleh Partai Komunis Cina. Kekuasaan yudikatif dijalankan secara bertingkat oleh pengadilan rakyat dibawah pimpinan Mahkamah Agung Cina. Pengadilan rakyat bertanggung jawab kepada kongres rakyat di setiap tingkatan, namun karena perwakilan rakyat tersebut didominasi oleh Partai Komunis Cina maka demokrasi masih sulit terwujud meskipun usaha perubahan dilakukan terus-menerus dalam reformasi yang dicanangkan dalam rangka menghadapi era globalisasi.
1. b. Sistem Politik Iran
Dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran sejak jatuhnya dinasti Syah Iran, sebagai kepala negara adalah Imam kedua belas yang diwakili oleh Fakih atau Dewan Faqih (Dewan Keimanan). Kepala pemerintahan dipegang oleh seorang presiden yang walaupun diangkat oleh rakyat, tetapi diangkat, dilantik, dan diberhentikan oleh Faqih atau Dewan Faqih. Penentuan seseorang untuk menjadi Faqih dan Ayatullah adalah berdasarkan kemampuan yang bersangkutan mengenai Al-Quran.
Ketua kabinet dipegang oleh perdana menteri yang dipilih, diangkat, da diberhentikan oleh presiden setelah mendapat persetujuan dari badan legislative (Dewa Pertimbangan Nasional Iran). Kabinet bertanggung jawab kepada Dewan Pertimbangan Nasional Iran. Badan legislatif ini selain membuat undang-undang juga bertugas mengawasi badan eksekutif. Dalam membuat undang-undang harus disesuaikan dengan Al-quran dan Al Hadis.
Di samping itu, dikenal pula-Dewan pelindung konstitusi yang disebut Dewan Perwalian (Syura ne Gahden) yang bertugas mengawasi agar undang-undang yang dibuat oleh Dewan Pertimbangan Nasional Iran tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan konstitusi Iran. Anggota-anggota Dewan Perwalian terdiri dari para pakar sebagai berikut:
1) Para anggota yang diambil dari ahli hukum Islam yang terkenal saleh dalam beribadah menjalankan syariat Islam, dan ditunjuk oleh Dewan Keimanan.
2) Para anggota yang diambil dari para ahli hokum dari berbagai cabang ilmu hukum , yang terdiri dari hakim-hakim Islam. Mereka juga mendapat ijin dari Mahkamah Agung Iran beserta pengesahan dari Dewar Pertimbangan Nasional Iran.
1. c. Sistem Politik Arab Saudi
Kekuasaan eksekutif Arab Saudi dipegang oleh kepala negara (raja) yang sekaligus menjabat sebagai perdana menteri dan pimpinan agama tertinggi. Tidak ada partai politik yang bertinak sebagai oposisi, tidak ada konstitusi kecuali al-Quran sebagai kitab suci mereka, namun tidak sepenuhnya diikuti dalam hal penyelenggaraanpemerintah. Karena kompleksnya bidang pemerintahan maka dibentuklah departemen-departemen yang yang pejabatnya selurunya dari keluarga istana.
Menghadapi era globalisasi, baru beberapa when icrakhir ini Arab Saudi membentuk badan legislatif (Majelis Syura). Mengenai badan yudikatif, sistem peradilan terdiri dari pengadilan-pengadilan biasa, Pengadilan Tinggi Agama Islam di Makkah dan Jedah serta sebuah Mahkamah Banding. Sistem hukum bersumber dari Alquran yang penjabarannya diambil dari Hadis. Di samping itu juga berlaku hukum adat dan hukum suku-suku. Sistem kerja peradilan diawasi oleh Komisi pengawas Pengadilan yang diangkat oleh raja.
Sistem pernerintahan daerah dibagi atas beberapa wilayah propinsi yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur, sedangkan beberapa kota penting dipimpin oleh walikota. Gubernur dan walikota diangkat atas persetujuan raja.
1. d. Sistem Politik Israel
Israel adalah penganut demokrasi parlementer yang meliputi kekuasaan legislaif, eksekutif, dan yudikatif, ketiga kekuasaan ini saling mengawasi. Kekuasaan yudikatifnya cukup independen, sedangkan kekuasaan legislatif cukup dominan karena merupakan tempat badan eksekutif bertanggung jawab. Kekuasaan eksekutif dipimpin oleh seorang perdana menteri yang dibantu oleh sejumlah menteri. Para menteri di pilih oleh partai dan bertanggung jawab kepada anggota partainya. Perdana menteri tidak bisa mencampuri pilihan partai, sehingga susunan kabinet dapat berubah setiap waktu. Presiden Israel disebut Nasi, dipilih oleh parlemen (Knesset) untuk masa jabatan lima tahun, tetapi boleh menduduki dua kali masa jabatan. Presiden juga dapat menunjuk anggota legislatif.
Dengan mempelajari berbagai sistem politik dari beberapa negara maka dapal diainbil manfat yang luas untuk memahami dan menerima kenyataan bahwa setiap bangsa dan negara berhak menentukan dan mengatur sistem politiknya dalam rangka mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negaranya.
1. 3. Garis Besar Perbedaan Sistem Politik di Berbagai Negara
Setelah mencermati sistem politik di berbagai negara dapat diketahui secara garis besar perbedaan sistem politik antara negara satu dengan negara lairiliya, Perbedaan-perbedaan tersebut terdapat pada:
1. a. Perbedaan Bentuk Negara
Ada dua kriteria bentuk negara, yaitu negara kesatuan dan negara serikal/ fcderasi. Negara kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal, artinya dalam negara tidak ada negara lain. Dalam negara hanya ada satu pemerintahan, satu Undang-Undang Dasar, satu kepala negara, satu kabinet, kabinet, dan satu lembaga perwakilan atau parlemen. Negara yang menerapkan bentuk negara kesawan antara lain RRC, Prancis, Indonesia, dan Jepang.
Negara scrikat atau federasi adalah negara yang terdiri dari beberapa llcgala Yang semula berdiri sendiri, kemudian negara-negara itu mengadakan ikatan kerja sama. Mereka mengatur pembagian wewenang antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian, contoh negara Serikat yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet, Republik Indonesia Serikat.
1. b. Perbedaan Bentuk Pemerintahan
Bentuk pemerintahan ada dua macam yaitu monarki atau kerajaan dan republik. Negara monarki, kepala negaranya disebut Raja atau Ratu, pengangkatannya berdasarkan hak waris turun-temurun, masa jabatannya seumur hidup. Negara¬negara yang menganut bentuk pemerintahan monarki, misalnya Saudi Arabia, Denmark, Inggris, Belanda, Jepang, dan Thailand.
Bentuk pemerintahan Republik, ciri-cirinya kepala negaranya disebut presiden, pengangkatannya berdasarkan pemilihan umum, masa, jabatan terbatas untuk waktu yang ditetapkan undang-undang. Contoh negara-negara yang menganut bentuk pemerintahan republik, yaitu Amerika Serikat, RRC, dan Republik Indonesia.
1. c. Perbedaan Sistem Kabinet
Berdasarkan pertanggungjawaban kabinet atau dewan menteri dalam pelaksanaan tugas eksekutif (pemerintahan) dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kabinet ministerial dan kabinet presidensial.
Kabinet ministerial adalah kabinet yang dalam pelaksanaan tugasnya dipertanggungjawabkan oleh para menteri di bawah pimpinan perdana menteri. Sedangkan kepala negara (presiden atau raja ) tidak dapat diganggu gugat. Perdana menteri sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Contoh negara yang menerapkan sistem ini, yaitu Inggris, Jepang, Malaysia, dan Israel.
Kabinet presidensial adalah kabinet yang dalam pelaksanaan tugasnya dipertanggungjawabkan oleh presiden. Menteri-menteri (kabinet) berperan sebagai pembantu presiden, diangkat dan diberhentikan oleh presiden serta bertanggung jawab kepada presiden. Presiden mempunyai kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan sebagai kepala negara. Negara-negara yang menerapkan sistem kabinet presidensial antara lain Amerika Serikat dan Republik Indonesia. Meskipun kedua negara melaksanakan sistem kabinet presidensial, tetapi dalam praktiknya ada perbedaan. Amerika Serikat melaksanakan Trias Politica, yaitu pemisahan kekuasan secara tegas antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sedangkan Indonesia melaksanakan pembagian kekuasaan, artinya antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih ada hubungan kerja sama.
1. d. Perbedaan Bentuk Parlemen/Lembaga Perwakilan
Bentuk parlemen ada dua yaitu monocameral dan bicameral. Parlemen yang monocameral, artinya terdiri dari satu kamar, misalnya Indonesia, RRC, Iran, dan Arab Saudi. Sedangkan parlemen yang terdiri dari 2 kamar (bicameral), antara lain Amerika, Uni Soviet, Jepang, dan Francis.
Demikian garis besar perbedaan system politik antar negara. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan cirri dari pihak politik yang menjiwai masyarakat negara yang bersangkutan.
Minggu, 17 April 2011
Pengaruh Ketahanan Nasional
Pengaruh Ketahanan Nasional pada Aspek Ekonomi
Perekonomian adalah salah satu aspek kehidupan nasional yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat, meliputi produksi, distribusi serta konsumsi barang dan jasa. Usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat secara individu maupun kelompok serta cara-cara yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan. Sistem perekonomian yang dianut oleh suatu negara akan member corak dan warna terhadap kehidupan perekonomian dari negara itu. Sistem perekonomian liberal dengan orientasi pasar secara murni akan sangat peka terhadap pengaruh yang datang dari luar. Disisi lain, system perekonomian sosialis dengan sifat perencanaan dan pengendalian penuh oleh pemerintah, kurang peka terhadap pengaruh dari luar. Kini tidak ada lagi system perekonomian liberal murni dan system perekonomian sosialis murni karena keduanya sudah saling dilengkapi dengan beberapa modifikasi didalamnya.
System perekonomian yang dianut oleh bangsa Indonesia mengacu kepada pasal 33 UUD 1945. Didalamnya menjelaskan bahwa system perekonomian adalah usaha bersama berarti setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam menjalankan roda perekonomian dengan tujuan untuk mensejahterakan bangsa. Dengan demikian, perekonomian tidak hanya dijalankan oleh pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan badan-badan usaha negara, namun masyarakat dapat turut serta dalam kegiatan perekonomian dalam bentuk usaha-usaha swasta yang sangat luas bidang usahanya. Koperasi adalah salah satu bentuk usaha yang mungkin untuk dikembangkan yaitu suatu bentuk usaha yang dilaksanakan atas dasar kekeluargaan. Di dalam perekonomian Indonesia tidak dikenal adanya usaha monopoli dan monopsoni baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.
Secara makro system perekonomian Indonesia dengan menggunakan terminology nasional dapat disebut sebagai system perekonomian kerakyatan. Merujuk pasal 33 UUD 1945 maka kemakmuran yang dituju adalah kemakmuran rakyat Indonesia seluruhnya, termasuk mereka yang ada di pulau terpencil dan puncak-puncak gunung melalui pemanfaatana sumber kekayaan alam yang ada. Era globalisasi menuntut negara untuk senantiasa mewaspadai dan tidak mungkin menutup diri dari perkembangan dan perubahan system ekonomi yang mengglobal pula. Oleh karena itu, negara harus mampu mengintegrasi ekonomi nasional dengan ekonomi global secara adaptif dan dinamis sehingga diperoleh hasil optimal bagi kepentingan nasional dan tujuan nasional.
Ketahanan Pada Aspek Ekonomi
Ketahanan Ekonomi diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi serta mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang datang dari luar mauoun dari dalam negeri baik yang langsung maupun tidak langsung untuk menjamin kelangsungan hidup perekonomian bangsa dan negara Republik Indonesia berdasrkan Pancasila dan UUD 1945. Wujud ketahanan ekonomi tercermin dalam kondisi kehidupan perekonomian bangsa, yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi nasional dengan daya saing tinggi dan mewujudkan kemakmuran rakyat yang adil dan merata. Dengan demikian, pembangunan ekonomi diarahkan kepada mantapnya ketahanan ekonomi melalui terciptanya iklim usaha yang sehat serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, tersedianya barang dan jasa, terpeliharanya fungsi lingkungan hidup serta meningkatkan daya saing dalam lingkup persaingan global.
Usaha untuk mencapai ketahanan ekonomi yang diinginkan perlu upaya pembinaan terhadap berbagai hal yang dapat menunjangnya antara lain :
a]. Sistem ekonomi Indonesia diarahkan untuk dapat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang adil dan merata di seluruh wilayah Nusantara melalui ekonomi kerakyatan untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional, kelangsungan hidup bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b]. Ekonomi kerakyatan harus menghindari :
• System free fight liberalism yang hanya menguntungkan pelaku ekonomi kuat dan tidak memungkinkan ekonomi kerakyatan berkembang.
• System etatisme dalam arti bahwa negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sector negara.
• Pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan social.
c]. Struktur ekonomi dimantapkan secara seimbang dan saling menguntungkan dalam keselarasan dan keterpaduan antar sector pertanian dengan perindustrian dan jasa.
d]. Pembangunan ekonomi dilaksanakan sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan dibawah pengawasan anggota masyarakat, serta memotivasi dan mendorong peran serta masyarakat secara aktif. Harus diusahakan keterkaitan dan kemitraan antara para pelaku dalam wadah kegiatan ekonomi yaitu Pemerintah, BUMN, Koperasi, Badan Usaha Swasta, dan sector informal untuk mewujudkan pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas ekonomi.
e]. Pemerataan pembangunan dan pemanfaatan hasil-hasilnya senantiasa dilaksanakan melalui keseimbangan dan keserasian pembangunan antar wilayah dan sector.
f]. Kemampuan bersaing harus ditumbuhkan secara sehat dan dinamis dalam mempertahankan serta meningkatkan eksistensi kemandirian perekonomian nasional, dengan memanfaatkan sumber daya nasional secara optimal dengan sarana iptek tepat guna dalam menghadapi setiap permasalahan serta dengan tetap memperhatikan kesempatan kerja
aspek sosial kemasyarakat
Aspek social kemasyarakatan
Boeke mungkin bukan orang pertama yang secara utuh mengadakan kajian tentang dimensi sosial-budaya dalam aktivitas perekonomian masyarakat desa tradisional—ia menyebut sebagai “masyarakat prakapitalis”—namun, Boekelah—setidak-tidaknya bagi penulis— yang menyadarkan kepada kita bahwa betapa dalam berbagai kajian tentang ekonomi, kedudukan, peran dan arti desa tradisional hampir-hampir terabaikan, dan senantiasa ditempatkan sebagai “obyek”, bukan sebagai “subyek”. Di sisi lain, walaupun dalam tahun-tahun yang lampau, studi-studi sosiologis dan antropologis telah banyak mencurahkan perhatian pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nusantara, namun hanya sedikit sekali yang memfokuskan kajiannya pada pola-pola dan praktik-praktik ekonomi yang dikelola dan dipimpin oleh “penduduk pribumi” dengan bentuk-bentuk relasi dan jaringan ekonomi yang bersifat “internal”. Pada umumnya, tekanan kajian mereka banyak diletakkan pada peranan orang-orang Eropa daripada pendudukpribumi sendiri, sebagaimana studi yang pernah dilakukan oleh Geertz (1963), dan Burger (1980).
Dalam konteks ini, kita perlu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap karya-karya klasik dari Van Leur (1967) dan Schrieke (1955-1957), karena kedua orang inilah yang mempelopori kajian-kajian sosial-ekonomi dengan mencoba menempat- kan arti penting orang-orang Asia (Indonesia) dalam aktivitas dan jaringan ekonomi (perdagangan) dunia. Hanya sayangnya, studi-studi tersebut dilakukan pada masa-masa pra-kolonial dan kolonial. Studi-studi terpenting mengenai relasi dan jaringan ekonomi (perdagangan) “setempat dan regional” pada dasarnya telah dimulai oleh Dewey dalam karyanya “Peasant Marketing in Java” (1962) dan Geertz melalui karyanya “Peddlers and Princes” (1963). Kedua karya ilmiah tersebut mencoba menghubungkan aktivitas-aktivitas para pedagang dan para wiraswastawan dengan keadaan ekonomi umum di dalam sebuah masyarakat yang sedang berubah dan secara luas menguraikan keterkaitannya dengan konteks sosial-budaya dari peristiwa ekonomi yang bersangkutan.
Sangat kurangnya studi-studi tentang aspek-aspek sosial-budaya dalam aktivitas perekonomian dalam masyarakat desa tradisional ini pun terjadi pada masyarakat Madura, terutama di kalangan masyarakat desa tradisional di daerah-daerah pesisir.
Dari kepustakaan yang ada, penelitian-penelitian ke-Madura-an masih banyak difokuskan pada kehidupan masyarakat “petani tradisional” (traditional peasant society), seperti yang telah dilakukan oleh Kuntowijoyo (1980); Leunissen (1982; 1989), Touwen-Bouwsma (1989a), Smith (1989) dengan fokus tentang kehidupan sosial-ekonomi. Sementara studi de Jonge (1977), Bouvier (1987) memfokuskan diri pada studi tentang kehidupan sosial-budayanya, atau, sejumlah studi lain dari Kuntowijoyo (1980; 1993); Touwen-Bouwsma (1989b); de Jonge (1989b) terhadap aspek sosial-politik dalam kehidupan masyarakat Madura; serta yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan (Islam), baik yang dilakukan oleh de Jonge (1989a), Kuntowijoyo (1989) dan Akhmad Khusyairi (1989). Sementara itu, penelitian-penelitian pada latar kehidupan masyarakat pesisiran relatif sedikit, itu pun tidak sepenuhnya berkenaan dengan aktivitas para nelayan di bidang perikanan laut, padahal, walaupun pertanian dan peternakan merupakan mata-pencaharian utama bagi sebagian terbesar penduduk Madura, namun perikanan laut selain memiliki arti penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat setempat, juga dijadikan semacam “komplementer” akibat kondisi tanah yang keras berbatu, dan tandus di daerah Madura. Hal ini diperkuat oleh studi de Jonge (1989c), yang menyatakan bahwa secara statistikal aktivitas perekonomian masyarakat Madura di sektor perikanan laut merupakan sektor ekonomi terpenting kedua setelah sektor pertanian. Dari keseluruhan jumlah penduduk Madura, terdapat sekitar 8% yang bermatapencaharian pokok sebagai nelayan. Jumlah tersebut akan lebih besar bila ditambah dengan jumlah yang hampir sama dari mereka yang menjadikan nelayan sebagai mata-pencaharian sambilan. Suatu jumlah, yang diperkirakan hampir seperempat dari seluruh nelayan yang ada di Jawa dan Madura. Peneliti lain, seperti Munir (1985) dan Djojomartono (1985) memfokuskan diri pada studi tentang ritus kematian dan adat sekitar kelahiran pada masyarakat nelayan Madura.
Studi de Jonge, Munir dan Djojomartono tersebut, telah memberikan gambaran— walaupun tidak utuh—tentang berbagai aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi dalam latar kehidupan masyarakat pesisiran Madura. Studi de Jong tersebut telah menunjukkan, meskipun tidak seluruhnya, betapa aktivitas perekonomian masyarakat (tradisional ataupun modern) dapat dihubungkan dengan alasan-alasan sosiologis dan kultural, di samping faktor-faktor ekonomi sendiri. Hal itu juga telah ditunjukkan oleh sejumlah studi lain dari Geertz (1956; 1963), Geertz (1981), McVey (1963), Wertheim (1959), Koentjaraningrat (1969; 1985), serta Castles (1982), tentang berbagai aktivitas ekonomi masyarakat.
Atas dasar ini, penulis melakukan penelitian lapangan yang difokuskan pada kajian tentang “konteks dan aspek-aspek sosial dan budaya di dalam suatu peristiwa/aktivitas perekonomian masyarakat nelayan tradisional”. Penelitian dilakukan di sebuah desa nelayan tradisional “Bandaran” yang terletak di daerah pesisir utara selat Madura, sekitar 20 Km sebelah barat daya kota Pamekasan. Penelitian dilakukan selama satu bulan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasil dan Pebahasan
Struktur Ekonomi “Desa Tradisional”
Dalam sebuah “buku kecil” berjudul “The Interest of the Voiceless Far East: Introduction to Oriental Economics”, yang diterbitkan di Leiden pada tahun 1948—versi Indonesia tahun 1983, Boeke menyadarkan kepada kita bahwa dalam berbagai kajian tentang ekonomi, kedudukan, peran dan arti desa tradisional hampir-hampir terabaikan, kalaupun disinggung, sejauh desa tradisional itu mulai terlibat atau terkait dalam permasalahan perekonomian kota. Desa tradisional senantiasa hanya dijadikan “obyek” atau dalam posisi tersubordinasi oleh kota, padahal, menurut Boeke, bagi masyarakat negara berkembang (developing countries) yang berbasis pada sektor pertanian-agraris, desa tradisional memiliki kedudukan dan telah memainkan arti penting bagi masyarakatnya di dalam memenuhi berbagai kebutuhan ekonomis mereka, bahkan, meskipun pada medio abad 20-an gerakan ekonomi perkotaan telah mulai menembus tembok kehidupan ekonomi pedesaan, ternyata desa tradisional tetap mampu mempertahankan prinsip-prinsip, pandangan-pandangan “ekonomi pedesaan”-nya atas dasar kekuatan-kekuatan internal yang dimiliki, yaitu “ekonomi swasembada”, yang oleh Boeke diistilahkan sebagai “ekonomi prakapitalis” (pracapitalism economy). Atas dasar prinsip keswasembadaan ini pulalah, ketika berbagai krisis yang melanda berbagai sektor ekonomi perkotaan (produksi, perdagangan, perniagaan, dan lain-lain) ternyata kehidupan perekonomian di desa tradisional seakan tidak terpengaruh, dan tetap bergerak sesuai dinamikanya sendiri.
Menurut Boeke (1983), desa tradisional merupakan sebuah rumah tangga yang secara ekonomi “berdaulat”, “mandiri”. Desa tradisional juga merupakan sebuah “unit produksi” bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumtif kalangan kelas menengah dan atas (penguasa, bangsawan, pemilik tanah/modal, dll), sementara bagi kalangan bawah, hal itu tidak lain merupakan “kewajiban sosial dan ekonomis” mereka atas perlindungan dan pimpinan yang diberikan oleh kalangan menengah dan atas dan ini berarti pula sebagai bentuk pengabdian kepada penguasa alam yang Maha Kuasa.
Pendek kata, setiap aktivitas ekonomi mereka senantiasa ditundukkan pada dan dicampur dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etis dan tradisional. Dari sisi konsumsi, kehidupan ekonomi desa tradisional dibangun atas dasar “prinsip swasembada”, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup kesehariannya diproduksi/dipenuhi oleh desa tradisional sendiri. Kemampuan desa tradisional membangun struktur ekonomi demikian, karena didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba (non profit oriented). Landasan struktur ekonomi desa tradisional diletakkan pada prinsip” hemat, ingat, dan istirahat (Boeke, 1983: 22).
Kehidupan sosial masyarakat desa tradisional sulit diklasifikasikan menurut pekerjaan mereka (de Jong, 1989), tidak seperti struktur kehidupan sosial pada masyarakat perkotaan dalam klasifikasi yang jelas dan terstruktur. Masyarakat desa tradisional yang hidup di daerah-daerah pertanian pedalaman hidup dalam komunitas-komunitas yang cenderung bersikap “tertutup”, serta dengan semangat kelompok yang kuat, karena mereka menganggap bahwa eksistensi individu terletak di dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat. Oleh sebab itu kehidupan individu perlu diatur secara organis, tunduk serta menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakatnya, alam dan Sang Pencipta. Mereka emosional, dengan kemampuan intelektual yang “”kurang berkembang”, kurang disiplin dan kurang memiliki rasa ketepatan dan penghargaan terhadap waktu (Boeke, 1983).
Adanya pemikiran, sikap dan tindakan di atas, erat kaitannya dengan “sistem nilai budaya dan sikap” yang mereka anut dan patuhi serta sebagai “faktor-faktor mental” (Koentjaraningrat, 1985) yang mempengaruhi pemikiran, sikap dan tindakan mereka dalam kehidupan kesehariannya maupun dalam hal membuat keputusan-keputusan penting lainnya. Ia merupakan suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, sekaligus juga apa yang dianggap remeh dan tak berharga dalam kehidupan mereka.
Realitas ini dapat dilihat dari bagaimana pemikiran, sikap dan tindakan mereka terhadap aktivitas ekonomi, kalaupun, sebagaimana dikatakan oleh Boeke di atas, masyarakat desa tradisional mampu membangun dan mengembangkan struktur ekonomi secara otonom dan swasembada, hal itu tidak lain karena didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan sosial dan budaya yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian yang semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu didasarkan pada motif-motif murni ekonomi yang sangat berorientasi kepada pasar dan laba (non profit oriented). Sehubungan dengan hal itu maka pekerjaan tidak lain dipandang sebagai “sarana pengabdian” terhadap kewajiban-kewajiban moral, sosial, etika dan keagamaan; atau hanya sebatas sebagai upaya manusia untuk mempertahankan hidup. Dengan kata lain, setiap aktivitas ekonomi, apapun bentuk dan jenisnya, ia senantiasa dikuasai atau berada di dalam “konteks tradisi”.
Sebagai sebuah pengabdian dan alat untuk mempertahankan hidup, maka bagi masyarakat desa tradisional bekerja bukanlah suatu “kejahatan yang terpaksa dilakukan, karena itu sedapat mungkin dijauhi dan dibatasi” (Boeke, 1983). Bagi mereka, bekerja ataupun aktivitas ekonomi lainnya memang sebagai sesuatu yang harus diterima, tetapi ia harus dilakukan dengan sepenuh hati, bersungguh-sungguh, penuh kerja keras dan sedapat mungkin tanpa bantuan orang lain, sehingga bernilai tinggi di mata masyarakat. Bekerja keras adalah milik masyarakat desa tradisional, oleh karenanya tidak perlu “sistem perangsang” sebagaimana dikonsepsikan oleh Hoselitz; walaupun dengan cara dan irama kerja yang masih perlu didisiplinkan dan diselaraskan dengan perkembangan teknologi modern, sehingga dapat memberikan hasil yang seefektif mungkin (Koentjaraningrat, 1983; 1985).
Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat Nelayan Tradisional Desa Bandaran
Bandaran adalah salah satu desa (dhisa) di antara delapan desa yang terdapat di wilayah Kecamatan Tlanakan Pamekasan serta merupakan daerah perbatasan antara Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sampang. Secara topografis, daerah Bandaran mempunyai ketinggian tanah antara 0 sampai 50 meter di atas permukaan laut, dengan jenis tanah “grumusol” (Abdurrachman,1977). Ia merupakan sebuah desa “nelayan tradisional” yang secara geografis terletak sekitar 20 km sebelah barat daya kota Pamekasan.
Desa Bandaran semula bernama kampong cerek. Perubahan nama dari “Cerek” menjadi “Bandaran” terjadi ketika desa ini berkembang menjadi “bandar” ikan. Kapan perubahan nama itu terjadi, tampaknya sangat sulit dipastikan. Desa Bandaran merupakan sebuah potret kehidupan desa nelayan tradisional, yang dalam menggerakkan aktivitas perekonomiannya sangat mengandalkan pada matapencaharian sebagai nelayan, dan sedikit sekali yang memiliki matapencaharian tetap. Selain itu, para nelayan dan beberapa pelaku ekonomi setempat (juragan pemilik kapal, bakul ikan) mengelola dan mengembangkan aktivitas perekonomi-an mereka secara “swasembada”, yaitu bertumpu pada pemberdayaan potensi daerah dan modal yang terdapat di lingkungan setempat (lokal), yang merupakan ciri khas dari sebuah struktur ekonomi desa.
Desa Bandaran terbagi menjadi 8 (delapan) kampung (kampong), yaitu: Bandaran I-II, Ombul I-II, Sumber Wangi I-II, Nangger, dan kampung Montor. Kampung Bandaran I-II, Ombul I-II, serta kampung Sumber Wangi I-II adalah kampung-kampung yang letaknya di dekat laut/pesisiran, sedangkan dua kampung lainnya (Nangger dan Montor) terletak agak jauh dari pesisiran dan berada di lereng sebuah perbukitan di sebelah utara keenam kampung sebelumnya. Jumlah penduduk secara keseluruhan + 4.000 orang, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak + 963 orang. Keenam kampung pesisiran tersebut, walaupun secara geografis memiliki luas wilayah yang lebih kecil dibandingkan dengan kedua kampung yang lain, akan tetapi memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, serta menjadi pusat konsentrasi pemukiman penduduk desa Bandaran. Pusat pemerintahan (Kantor Kepala Desa) terletak di kampung Sumber Wangi II (di pinggir jalan desa). Di sebelah selatan Sumber Wangi II terletak Puskesmas Cabang Kecamatan Tlanakan, SDN Bandaran I dan IV. Sedangkan sebelah barat (di seberang jalan) —sudah masuk ke wilayah kampung Ombul I—terdapat SDN Bandaran II dan III dan sebuah mesjid dari dua mesjid yang ada di Desa Bandaran.
Pada umumnya wilayah desa Bandaran kondisi tanahnya tidaklah subur, bahkan cenderung agak keras serta aktivitas pertanian dapat dikatakan tidak berkembang atau tidak diusahakan oleh penduduk setempat. Hal ini berbeda dengan penduduk yang berada di dua kampung yang lain yaitu kampung Nangger dan Montor, yang pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani sawah tadah hujan, meskipun, ada pula di antara mereka yang bermatapencaharian sebagai nelayan, terutama ketika musim kemarau panjang (mosem nemor kara).Dalam kondisi geologis seperti itu, matapencaharian pokok masyarakat yang berada di desa Bandaran pesisir, adalah sebagai nelayan, serta hanya sebagian kecil di antaranya bermatapencaharian sebagai penjual bahan-bahan kebutuhan keseharian masyarakat (meracang), pedagang emas, pegawai negeri, dan pengusaha angkutan penumpang (taksi).
Kondisi ini agak berbeda dengan desa-desa nelayan lainnya di Pamekasan, seperti Pasean, Tamberu, dan Talang, yang selain masyarakatnya hidup dari aktivitas nelayan di laut, aktivitas di bidang pertanian pun cukup banyak memberikan hasil secara ekonomis. Bagi penduduk desa Bandaran, keberadaan laut telah memungkinkan mereka terlepas dari sikap ketergantungan hidup terhadap usaha pertanian, dan pada saat yang bersamaan telah mampu memberikan peluang yang lebih besar untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik, bila dibandingkan dengan saudara-saudara mereka yang berada di kampung Montor dan Nangger yang lebih menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam. Selain itu, aktivitas mereka sebagai nelayan dengan jumlah penghasilan yang mereka pandang cukup memadai, ternyata juga telah mampu mengendalikan mereka untuk tetap bertahan dan mendapatkan rejeki di daerahnya sendiri, tanpa harus melakukan exodus ke daerah atau bahkan negara lain seperti yang banyak ditemukan pada umumnya masyarakat nelayan di pantai utara pulau Madura.
Walaupun masyarakat desa Bandaran pesisir tersebut berada pada daerah yang tidak terlalu subur, dan banyak menggantungkan hidup pada hasil penangkapan ikan di laut, namun secara ekonomis kehidupan mereka tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat terbelakang dan miskin, bahkan, dari hasil penangkapan ikan di laut itu, sebagian besar dari mereka memiliki rumah tembok, fasilitas rumah tangga “modern dan canggih”, untuk ukuran “masyarakat tradisional” (traditional peasant societies), dan mobil.
Seperti lazimnya pemukiman masyarakat nelayan lain di Pulau Madura, rumah-rumah penduduk setempat cukup padat, berjejal, tidak menganut pola penataan rumah seperti dalam masyarakat petani pedalaman, serta mengesankan sebuah “pemukiman kumuh”. Pada umumnya rumah-rumah mereka menghadap ke laut, kecuali rumah-rumah di kedua kampung Bandaran yang berada tepat di pinggir laut menghadap ke utara. Jalan-jalan di perkampungan sangat sempit dan berkelok-kelok, sehingga apabila berpapasan salah satu harus mengalah, namun, apabila diperhatikan, sulit dibayangkan bahwa daerah itu adalah daerah nelayan, dengan mata-pencaharian “satu-satunya” adalah menangkap ikan di laut. Kondisi rumah-rumah mereka yang berderet dari Timur ke Barat sepanjang 500 meter sebelah utara dan selatan jalan raya antara Pamekasan dan Sampang, tidak begitu jauh berbeda dengan rumah-rumah pemukiman orang-orang kota. Deretan bangunan rumah pemukiman penduduk di desa Bandaran itu ibarat sebuah “kota kecil di tepi pantai” (a little state in the coast), lengkap dengan berbagai aksesoris peralatan rumah tangga “modern”, berselang-seling dengan rumah- rumah desa khas penduduk kampung nelayan, baik yang terbuat dari bambu maupun kayu, juga berbagai perabot rumah tangga khas masyarakat nelayan. Sungguh merupakan sebuah mozaik desa yang sangat mencengangkan.
Sebagai daerah pemukiman cukup padat, upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya, tampaknya dapat dipenuhi sendiri dari berbagai fasilitas warung atau pertokoan yang ada di desanya; kecuali sebagian kebutuhan sandang dan papan yang tidak terdapat di desanya atau terdapat kekurangan, mereka membeli di kota Kabupaten (Pamekasan atau Sampang).
Di sisi lain, perhatian dan tingkat partisipasi penduduk terhadap pendidikan anak-anaknya sangat kurang. Anak-anak mereka terutama yang perempuan, pada umumnya hanya bersekolah hingga jenjang SD, itupun tidak seluruhnya tamat, terutama karena alasan akan “dikawinkan”. Kepedulian masyarakat setempat terhadap arti penting pendidikan bagi masa depan kehidupan anak-anak mereka, mulai berubah sejak dasa warsa 90-an. Anak-anak mereka, laki-laki dan atau perempuan, telah mulai ada yang disekolahkan hingga jenjang SMTA.Walaupun dengan tingkat persentase yang tidak terlalu tinggi, dan hanya satu-dua orang saja yang bisa mencapai jenjang Perguruan Tinggi.
Sistem Penangkapan Ikan di Laut
Bagi masyarakat nelayan di Desa Bandaran, sistem jaring (jaring lepas, jaring lingkar, dan jaring gondrong) merupakan sistem penangkapan utama atau umum diterapkan di dalam menangkap ikan di laut, disamping sistem pancing. Sedangkan, sistem penangkapan ikan melalui bagan tidak digunakan mengingat kondisi laut di desa Bandaran ini cukup dalam dan terjal sehingga tidak memungkinkan penggunaan sistem bagan.
Ada tiga jenis jaring (phajang) yang biasa digunakan untuk keperluan penangkapan ikan di laut, yaitu: (1) jaring lepas (sethet); (2) jaring gondrong; (3) jaring lingkar (sleret); dan (4) rakat. Di antara keempat jenis sistem penangkapan ikan dengan menggunakan sisem jaring di atas, yang hingga kini tetap bertahan dan masih banyak digunakan oleh nelayan tradisional di desa Bandaran adalah dengan jenis jaring lingkar (sleret), rakat, dan jaring gondrong; sedangkan jaring lepas (sethet) kini hanya sebagian kecil nelayan yang menggunakannya (di desa Bandaran kini hanya tinggal 5 buah). Hal ini, mengingat bahwa penggunaan ketiga jenis jaring tadi secara ekonomis lebih menguntungkan. Berbagai jenis perahu yang digunakan para nelayan desa Bandaran untuk menangkap ikan yang ada sekarang, terdiri dari jenis yang paling besar hingga yang terkecil, yaitu: kapal sleret, edher, dan pakesan kecil (thitil).
Organisasi dan Pola Relasi Kerjasama Antar-Nelayan
Kehidupan para nelayan Desa Bandaran bukanlah bersifat individual, tetapi berkelompok. Setiap kelompok nelayan terdiri dari: (1) juragan pemilik kapal/perahu; (2) juragan kepala perahu; (3) pandhiga. Sebagai sebuah (organisasi) kelompok nelayan pola relasi kerja, baik antara juragan perahu, juragan kepala dan phandiga, atau antar anggota nelayan sendiri, bukan terjadi dalam kerangka hubungan kerja antara “atasan” dan “bawahan” yang bersifat “hubungan pengabdian”, tetapi lebih bersifat “kolegialisme” dan “kekeluargaan”, sekalipun terdapat klasifikasi di antara mereka sesuai dengan spesifikasi kerja masing-masing. Hubungan di antara mereka pun sangat longgar, terbuka, suka-hati dan didasarkan atas “kesertaan secara sukarela”, tetapi dalam kasus-kasus tertentu bahkan seorang juragan pemilik perahu harus merekrut anggota nelayannya dengan “cara membeli”. Hal ini menunjukkan betapa faktor-faktor sosial dan budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi.
Organisasi dan hubungan kerjasama di antara jraghan praho/kapal, jraghan kepala dan awak perahu/kapal di atas tidaklah terlalu ketat, tidak semata-mata didasarkan pada hubungan ekonomi-bisnis, faktor-faktor yang bersifat “kekeluargaan” juga mewarnai pola relasi kerjasama di antara mereka. Artinya, siapapun orangnya, dia dapat masuk menjadi pengikut atau awak perahu (pandhiga) dari seorang pemilik perahu tertentu dan/atau para pemilik perahu yang lain, secara sukarela, tanpa ada paksaan. Demikian pula, mereka pun dapat keluar dari keanggotaan suatu kelompok nelayan tersebut kapan mereka menghendaki, tanpa harus menunggu habisnya satu mosem petthengan, atau apabila menurut mereka kapal/perahu yang mereka ikuti kurang memberikan hasil yang mencukupi atau memuaskan kebutuhan diri dan keluarganya.
Longgarnya ikatan keorganisasian dan hubungan kerjasama kemitraan di antara pemilik kapal, juragan dan awak perahu tersebut tampaknya disebabkan oleh pola rekrutmen anggota yang juga tidak terlalu ketat, tidak terlalu prosedural, atau dengan berbagai persyaratan sebagaimana layaknya sebuah usaha profesional. Khusus untuk seorang juragan kepala, mengingat pentingnya peran dan tanggungjwab dia sebagai “pemegang komando” dalam suatu operasi penangkapan ikan, maka hanya dipersyaratkan bagi setiap nelayan yang telah memiliki banyak pengalaman di bidang penangkapan ikan di laut serta luasnya hubungan dan komunikasi dengan berbagai kelompok nelayan yang ada di daerah itu atau di luar desa Bandaran.
Sistem atau pola rekrutmen keanggotaan nelayan dilakukan secara: (1) sukarela; dan (2) membeli. Cara sukarela, adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan yang terbuka bagi siapa saja, atas dasar kesukarelaan yang bersangkutan untuk menjadi anggota kelompok nelayan. Di lain pihak, sistem “membeli” (melle) adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan dengan cara membeli atau membayar agar yang bersangkutan mau menjadi anggota kelompok perahunya. Sistem membeli ini dilakukan manakala sebuah kapal/perahu tersebut pada setiap hari atau setiap musim melaut dapat dikatakan sedikit atau sama sekali tidak membawa hasil tangkapan ikan yang banyak (ta’ olleyan), atau kurang memadai, sehingga, untuk mendapatkan anggota seorang juragan harus membeli orang-orang yang akan dijadikan anggota pandhiga perahunya. Adanya sistem pembelian anggota kelompok nelayan untuk keperluan pengoperasian perahu/kapal seperti ini, menyebabkan adanya hubungan “hutang-piutang” yang cukup rumit di antara mereka dan seringkali menyebabkan posisi “menawar” para phandhiga atau jraghan kepala berada pada posisi lemah dibandingkan para pemilik perahu, serta merupakan lahan yang sangat potensial bagi keduanya untuk terlibat dalam hutang yang bertumpuk-tumpuk.
Sistem Pembagian Hasil Ikan
Dalam kaitan bisnis penangkapan ikan di desa Bandaran, seorang pemilik perahu/kapal tidak menentukan “target minimal” yang harus dipenuhi atau dicapai oleh para jraghan kepala atau awak kapal/perahunya berkenaan dengan hasil tangkapan ikannya. Kendatipun demikian, banyak atau sedikitnya hasil ikan sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem pem-bagian hasil ikan di antara jraghan kapal/perahu, jraghan kepala, pandhiga, serta anggota nelayan lain yang termasuk anggota kelompok nelayan tersebut, dan/atau orang-orang lain yang terlibat dalam proses persiapan dan pelaksanaan operasi penangkapan ikan. Berapapun hasil perolehan ikan, sistem pembagian hasilnya tetap tidak berubah.
Dalam masyarakat nelayan desa Bandaran, dikenal dua sistem pembagian hasil ikan tangkapan yang didasarkan pada “jenis perahu yang digunakan” dan “jaring (alat penangkapan ikan) yang digunakan”, yaitu apakah menggunakan jenis kapal/perahu besar (sleret dan pakesan besar); atau jenis kapal kecil (sampan/edher dan pakesan kecil) juga apakah menggunakan alat berupa jaring atau pancing (khusus untuk jenis kapal kecil). Untuk jenis perahu besar, sistem pembagian ikannya adalah 50% dari seluruh ikan hasil tangkapan adalah bagian pemilik perahu, sedangkan 50% sisanya untuk seluruh awak perahu. Namun, sejalan dengan semakin ketatnya persaingan di antara para juragan pemilik perahu, dewasa ini pemilik perahu hanya mendapat sekitar 1/3 bagian (atau 35%); sedangkan sekitar 2/3 (65%) bagian lainnya dibagi menjadi 20 bagian untuk seluruh awak kapal/perahu.
Apabila diperhatikan, dalam sistem pembagian ikan hasil tangkapan di atas, tampaknya juragan pemilik perahu umumnya tetap mendapatkan pembagian hasil ikan rata-rata lebih tinggi dari para awak kapal. Seperti pada sistem pembagian ikan pada jenis kapal sleret di atas, besarnya jumlah penerimaan dari seorang juragan pemilik perahu pakesan kecil dan sampan (edher) tersebut, memang sebanding dengan investasi yang telah dia keluarkan untuk pengadaan perahu, jaring, dan mesin. Selain itu, karena dalam hal terjadi kecelakaan atau kerusakan pada perahu, jaring, dan mesin, maka seluruh biaya perawatan, perbaikan atau bahkan penggantiannya yang baru sepenuhnya menjadi tanggungan dan atas modal dari juragan pemilik perahu tersebut. Hal ini berbeda pada kapal besar jenis sleret dan pakesan besar yang seluruh biaya perawatan, perbaikan dan/atau penggantian yang baru diambilkan dari uang perbaikan/perawatan yaitu sebesar 5% – 10% (sistem pembagian lama), atau sebesar 2.14% (sistem pembagian baru).
Sementara itu, untuk jenis perahu kecil terbagi lagi menjadi dua sistem. Apabila menggunakan jaring sethet, maka sistem pembagiannya adalah 4-5 bagian untuk juragan pemilik perahu, sedangkan awak perahu masing-masing mendapatkan 1 bagian (jumlah awak perahu antara 4-6 orang), tokang nampo dan tokang jagha’an mendapatkan masing-masing ½ bagian, tokang koras (harfiah: “tukang menguras” air di dalam perahu di tengah laut ketika sedang melaut) tidak mendapatkan bagian tersendiri, tetapi memperoleh bagian dari hasil pemberian sekadarnya (sakadharra) atau atas dasar kerelaan dari para nelayan. Namun, apabila menggunakan jaring gondrong pembagiannya adalah: (1) juragan pemilik perahu antara 10% – 40%, tetapi oleh karena dia juga dapat merangkap sebagai tukang nampo, maka selain mendapatkan bagian yang telah ditetapkan di atas, juga masih memperoleh tambahan bagian lagi antara 5% – 20%, sehingga secara keseluruhan mendapatkan perolehan sebanyak 15% – 60%; (2) awak perahu mendapatkan bagian yang bervariasi, tergantung apakah jaringnya memperoleh hasil banyak, sedikit atau tidak. Namun, secara umum mereka dapat memperoleh total bagian bersih sebanyak 85% dari jumlah udang hasil pancingan mereka; (3) tokang nampo mendapatkan bagian yang diberikan oleh masing-masing anggota nelayan sebanyak 5%. Karena seluruh anggota nelayan berjumlah 1-4 orang, maka total bersih penerimaannya sebanyak 5% – 20%.
Pola Relasi dan Jaringan Penjualan Ikan
Transaksi jual-beli ikan/udang nelayan di desa Bandaran pada umumnya dilakukan di darat seperti dalam masyarakat nelayan di Pulau Madura lainnya, tetapi kadang-kadang juga dilakukan di tengah laut. Aktivitas jual-beli tersebut terjadi antara (1) nelayan, juragan perahu, juragan kepala; (2) bakul ikan (bakol jhuko’); (3) tengkulak (tokang kolak jhuko’).
Dalam aktivitas jual-beli tersebut, hasil ikan bagian masing-masing awak kapal dan juragan kepala, ada yang sebagian langsung dijual atau diserahkan kepada para bakul ikan yang datang ke tengah laut dengan menggunakan perahu, ada pula yang dibawa ke darat untuk dijual atau diserahkan kepada para bakul ikan yang ada di darat.
Dalam banyak kasus di lapangan, hubungan jual-beli ikan antara para nelayan dan juragan kepala di satu pihak dengan para bakul ikan di lain pihak sering bersifat “mengikat”, daripada atas dasar “sukarela”. Hal ini terjadi, karena para nelayan dan juragan kepala tersebut secara rutin dan berkesinambungan mendapatkan “uang pengikat” (pesse panyengset) dari para bakul ikan. Uang tersebut merupakan “uang muka” (pesse panjher) dari bakul ikan kepada para nelayan dan juragan kepala dari hasil penjualan ikan yang diterimakan kepada bakul ikan. Pemberian uang tersebut tujuannya tidak lain adalah agar para nelayan dan juragan kepala tadi menyerahkan atau menjual ikan kepada si bakul ikan. Menjadi “kewajiban” atau “keharusan” bagi para nelayan dan juragan kepala penerima uang tadi untuk menjual atau menyerahkan sebagian atau seluruh ikan-ikan yang menjadi bagiannya—sesuai dengan kesepakat-an—kepada bakul yang telah memberinya uang. Kebiasaan memberikan uang perangsang ini, dalam banyak hal telah menjadi kesepakatan di antara kedua belah pihak. Relasi dan praktik jual-beli yang demikian ini telah menjadi pola umum dalam hampir setiap relasi dan jaringan perdagangan ikan yang berlaku di kalangan nelayan tradisional di desa Bandaran.
Pola jual-beli ikan dengan sistem “uang pengikat” (pesse panjher) tersebut memang tidak selalu merugikan pihak nelayan dan juragan kepala, walaupun sebenarnya uang yang dibayarkan—saat itu juga atau kemudian—oleh para bakul kepada mereka tidak pernah sama, bahkan lebih rendah dari harga jual riil ikan seandainya dijual langsung di pasar lokal. Artinya, para nelayan atau juragan kepala tersebut akan menerima uang hasil pembelian ikan dari bakul ‘senantiasa kurang’ dari harga jual ikan di pasaran. Sistem pemberian hasil penjualan “di bawah harga” tersebut berlaku umum atau sama untuk seluruh bakul. Dalam hal ini, tidak ada permainan harga jual antara bakul yang satu dengan bakul yang lain; sehingga jumlah uang yang diterima oleh para nelayan dan juragan kepala dari para bakul siapapun dia setiap orang adalah setara, tidak ada perbedaan. Bagi bakul ikan sendiri, dengan adanya uang pengikat ini, selain dia dapat menjual harga sesuai dengan keadaan pasar dan jenis ikan yang dijual, dari hasil penjualan ikannya itu dia juga masih mendapatkan keuntungan, yang diperoleh dari selisih antara uang yang diberikan kepada para nelayan dan juragan kepala rekanannya dengan uang yang sebenarnya diperoleh dari hasil penjualan ikan tadi.
Kecenderungan para nelayan dan juragan kepala untuk menjual ikan kepada bakul yang telah “mengikatnya dengan uang pengikat tadi, adalah lebih disebabkan pada pertimbangan kecepatan dan kemudahan menjual ikan serta memperoleh uang, atau hal-hal praktis lainnya daripada semata-mata pertimbangan bisnis-ekonomi yang berorientasi pada mencari untung sebesar-besarnya, sebab bagi para nelayan dan juragan kepala ada risiko yang akan diterima, apabila mereka menjual langsung ikan-ikan tersebut di pasar jalanan (pasar di pinggir jalan), yaitu ada kemungkinan tidak laku, harga jual rendah/murah dan atau apabila mereka bawa ke pasar di luar daerah mereka sendiri, misalnya ke pasar kota Pamekasan, selain masih harus mengeluarkan uang tambahan untuk transportasi juga belum dapat dipastikan dapat segera laku dengan cepat atau berharga tinggi. Bahkan, apabila ikan yang dijual sendiri tadi tidak laku, maka ikan-ikan tersebut harus dikeringkan (jhuko’ kerreng), yang tentunya harga jualnya akan lebih murah dibandingkan apabila dijual dalam bentuk “ikan basah” (jhuko’ odi’), di samping perlu uang ekstra untuk biaya pengeringan, serta tenaga.
Hal lain yang menjadi daya tarik dari para nelayan dan juragan kepala melakukan praktik bisnis semacam itu, adalah karena mereka akan mendapatkan fasilitas tambahan dari para bakul ikan, yaitu kemudahan untuk mendapatkan hutang (otang) atau pinjaman uang (nginjham pesse) dari para bakul rekanannya; apakah untuk keperluan modal usaha rumah tangga (meracang, dll) atau pun untuk keperluan keluarga yang lain, yang bagi mereka mungkin tidaklah mudah diperoleh dari orang lain, selain itu bunganya pun tidaklah terlalu tinggi (maksimal 5% perbulan). Para nelayan itu pun secara rutin masih mendapatkan barang-barang lain seperti rokok (ketika dia istirahat, atau tidak melaut), atau ketika menjelang lebaran mereka kembali mendapatkan “sesuatu” dari para bakul rekanan bisnisnya seperti: pakaian, kopiah, sarung, sandal atau barang-barang kebutuhan lebaran lain untuk keluarga mereka.
Praktik jual-beli di atas, senantiasa dipelihara dan semakin diperkuat; dan dalam hal-hal demikian itu telah menimbulkan hubungan jual-beli yang bersifat “patron-client” (hubungan pelindung-klien) di antara mereka, walaupun hal tersebut tidak dapat dikatakan bahwa pola relasi tersebut hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, walaupun bukan merupakan gejala umum seperti halnya hubungan jual-beli antara nelayan dan bakul seperti di atas, pola jual-beli ikan dengan sistem “uang pengikat” juga terjadi antara para tengkulak ikan yang memberikan uang perangsang dengan para bakul ikan, tetapi pada umumnya di antara mereka terdapat hubungan jual-beli yang relatif bebas sehingga setiap tengkulak dapat menguhungi setiap bakul untuk mendapatkan berbagai jenis ikan yang dibutuhkan atau diminati oleh para pembeli di pasar asal mereka sementara para bakul ikan itu dapat pula secara bebas menjual ikan-ikannya kepada setiap tengkulak sesuai dengan harga pasaran atau harga yang lebih tinggi dari harga penawaran tengkulak yang lain.
Selain sebab-sebab di atas, terjadinya praktik jual-beli ikan dengan sistem “uang pengikat” juga disebabkan oleh kurang berfungsinya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang ada, padahal pembangunan TPI tersebut pada awalnya merupakan inisiatif pemerintah—dalam hal ini Dinas Perikanan—untuk memudahkan dan memberikan keuntungan ekonomis yang lebih besar bagi para nelayan, juragan kepala, dan juragan perahu, akan tetapi keberadaan TPI ini hanya efektif pada awal-awal pendiriannya saja, dan sejak beberapa tahun yang lalu semakin tidak diminati oleh para nelayan atau juragan. Sejumlah alasan yang dikemukakan adalah, karena pasar tidak selalu memberikan respon positif terhadap “hasil harga lelang” yang disepakti di TPI, dikarenakan jaringan pemasaran ikan dari desa Bandaran ini hanya untuk konsumsi pasar-pasar lokal yang berada di kota Pamekasan dan Sampang. Juga karena seringkali para pembeli yang telah memberikan “harga tertinggi” di TPI tersebut banyak yang tidak segera melunasi uangnya, malah tidak jarang terjadi penagihan yang tidak kunjung terselesaikan sehingga para pemilik ikan pun merasa dirugikan.
Kepemimpinan Ekonomi dan Pengembangan Struktur Ekonomi Lokal
Berbeda dengan relasi jaringan perdagangan komoditas lokal di daerah lain di Pulau Madura seperti tembakau (bhako), garam (buja), atau ikan teri (jhuko’ kenduy) dan nener (bibit ikan bandeng) yang pada umumnya melibatkan para pelaku ekonomi berskala besar dan lintas-lokal, pengembangan ekonomi lokal desa Bandaran, sebagaimana umumnya struktur ekonomi desa, dibangun dan didukung oleh pola-pola kepemimpinan ekonomi yang juga bersifat “lokal”, serta “pemupukan modal” yang sebenarnya bukan sebagai bentuk investasi dalam pengertian teori ekonomi.
Kepemilikan modal dalam perdagangan ikan di desa Bandaran ini tidak terlalu besar, bahkan tidak sedikit dari para bakul yang berperan sebagai “pedagang pemasok dan perantara” dalam aktivitas penjualan ikan hasil tangkapan nelayan kepada para tengkulak ikan hanya atas dasar prinsip “kepercayaan” (saleng parcaja), yaitu pada kemampuan atau keahlian mereka untuk meyakinkan para pemilik ikan agar menyerahkan atau menjual ikan kepada dirinya. Selain itu, dalam aktivitas perdagangan ikan di desa Bandaran ini juga terdapat sejumlah pedagang besar dari luar Bandaran yang disebut tauke yaitu pelanggan tetap bermodal besar, memiliki gudang atau pabrik pengolahan ikan, serta memiliki jaringan perdagangan di tingkat regional atau ekpor, akan tetapi sekarang ini mereka sudah tidak diperkenankan lagi untuk memborong ikan-ikan hasil tangkapan nelayan setempat. Hal ini, dimaksudkan selain agar tidak terjadi spekulasi harga jual-beli ikan yang dianggap dapat merugikan nelayan, juga agar keuntungan tetap berada di pihak masyarakat desa Bandaran sendiri. Untuk mencapai maksud itu, maka ikan-ikan tersebut diborong (ebhurung) oleh Kepala Desa, dan dari tangan Kepala Desa inilah para pedagang lokal (bakul) serta para tengkulak ikan yang berasal dari luar desa Bandaran membeli ikan sesuai dengan harga yang berlaku di pasar lokal. Dengan demikian, para pelaku ekonomi utama dalam aktivitas perdagangan ikan di desa Bandaran tetap berada di tangan masyarakat setempat, yaitu juragan pemilik perahu, para bakul, dan tengkulak.
Juragan pemilik perahu/kapal merupakan pelaku terpenting dalam aktivitas perekonomian desa dalam masyarakat nelayan Bandaran. Keberadaan kepemilikan kapal/perahu serta modal yang dimiliki merupakan penggerak utama dalam aktivitas penangkapan ikan dan perdagangan. Dengan jumlah armada kapal perahu yang dimiliki (antara 1-5 buah), seorang juragan pemilik perahu mampu mempekerjakan nelayan antara 23 – 30 orang untuk satu kapal sleret, antara 14 – 18 orang untuk perahu jenis pakesan besar, dan antara 4-6 orang untuk perahu kecil jenis pakesan kecil dan sampan (edher). Secara fungsional, para juragan pemilik kapal/perahu ini telah mampu mengoptimalkan keberadaan sumber daya manusia setempat, dengan merekrut penduduk setempat antara 4-36 orang untuk tiga unit kapal/perahu sebagai tenaga-tenaga kerja efektif. Selain itu, dia juga telah melibatkan para penduduk setempat dalam suatu aliansi ekonomis di tingkat lokal untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam di laut lokal dan regional, sehingga secara ekonomis mereka mempunyai kesempatan memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomis dari hasil pembagian ikan yang menjadi haknya bagi pemenuhan kebutuhan hidup keseharian, perumahan, dan alat-alat pemuas kebutuhan “modern” lainnya. Sekalipun posisi seorang juragan perahu bermakna penting bagi kehidupan seorang nelayan di desa Bandaran ini, namun dia tidak memiliki dan tidak berkehendak untuk melakukan penguasaan yang bersifat monopoli terhadap para juragan kepala atau anggota nelayan.
Bakul ikan yang menjadi “pemulung” bertindak sebagai pelaku ekonomi kedua dalam aktivitas jual-beli ikan di tingkat lokal. Bahkan, adanya kecenderungan masyarakat nelayan setempat untuk menyerahkan atau menjual sebagian terbesar ikan kepada mereka, menyebabkan para bakul ikan menjadi mata rantai terpenting dalam seluruh aktivitas perdagangan ikan di desa Bandaran. Dalam konteks yang sifatnya lebih terbatas, kuatnya relasi bisnis antara nelayan/juragan kepala dan nelayan dengan para bakul ikan, yang dalam banyak hal menyerupai “patron-client relationship”, telah menjadikan keberadaan dan peran para bakul ikan ini sebagai “…stand guard over the crucial junctures or synapsis of relationships which connect the local system to the larger whole” (Wolf, dalam de Jong, 1989). Adanya hubungan “patron-klien” dalam relasi bisnis antara nelayan/juragan kepala dan nelayan dengan para bakul ikan ini, memang memungkinkan tercapainya efektivitas dan efisiensi dalam penjualan ikan, walaupun ada risiko terhadap kemungkinan terjadinya perolehan pendapatan yang relatif lebih rendah dari pendapatan yang mungkin bisa diperoleh apabila mereka memperdagangkannya langsung di pasar jalanan setempat atau ke pasar-pasar lokal di luar daerah, sebab dengan adanya bakul ikan sebagai “patron”, para nelayan/juragan kepala dan nelayan dapat menjual ikannya serta memperoleh uang dengan cepat tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan lagi, kendati dengan cara itu mereka akan memperoleh harga yang terkadang di bawah harga pasar, karena sifatnya yang sangat fluktuatif.
Tengkulak ikan adalah pelaku ekonomi ketiga dalam aktivitas ekonomi dalam masyarakat di desa Bandaran. Sungguhpun para tengkulak ikan ini hampir dapat dikatakan tidak memiliki relasi dagang secara langsung dengan juragan kepala dan nelayan setempat, namun keberadaan dan perannya sebagai pembeli dan sekaligus sebagai pemasar ikan setempat ke berbagai pasar lokal di luar daerah Bandaran, telah memungkinkan ikan-ikan hasil para nelayan setempat dikenal spesifikasinya di seluruh daerah Pamekasan dan Sampang. Nama “jhuko’ laok” (ikan dari selatan) yang diberikan oleh para pembeli luar terhadap ikan hasil tangkapan nelayan desa Bandaran yang mereka temukan di sejumlah pasar lokal di luar Bandaran, tidak terlepas dari peran dan arti penting seorang tengkulak dalam matarantai perdagangan ikan dari daerah ini. Selain itu, banyaknya peminat ikan desa Bandaran telah mampu meminimalisasi adanya surplus ikan di pasaran setempat, sehingga sirkulasi ikan setempat menjadi lebih lancar. Hal ini, mengakibatkan pendapatan para bakul ikan, termasuk pula para juragan kepala dan nelayan, secara ekonomis menjadi lebih pasti dan berpengharapan.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa pola kepemimpinan ekonomi di daerah Bandaran tersebut, walaupun pada sebagiannya ada yang bersifat “patron-client relationship”, namun secara umum lebih bersifat “collegialisme” atau kemitraan kerja yang sejajar. Pemberian keamanan, kemudahan, kelancaran dalam melakukan aktivitas ekonomi dalam pola-pola hubungan jual-beli di atara nelayan, juragan, dan bakul ikan merupakan dasar pokok dari setiap kepemimpinan ekonomi yang dijalankan. Pola demikian tampaknya erat berkaitan dengan faktor-faktor penggerak ekonomi dan uang yang pada umumnya tidak berada di tangan ketiga pelaku ekonomi di atas, di samping disebabkan oleh kemampuan masyarakat nelayan setempat di dalam mendapatkan dan memanfaatkan sumber-sumber keuangan yang jumlahnya tidaklah terlalu besar.
Munculnya pelaku-pelaku ekonomi lokal (juragan, bakul dan tengkulak ikan) dalam relasi perdagangan ikan, tidak saja memiliki arti penting bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi para nelayan yang menjadi “kliennya”, tetapi di lain pihak juga telah menciptakan hubungan “patron-klien” yang cenderung melahirkan “ketergantungan ekonomis” bagi umumnya para nelayan. Kecenderungan ini pada dasarnya bukanlah karena alasan-alasan ekonomis semata (untuk mendapatkan hutang atau kredit), tetapi lebih disebabkan karena para nelayan ingin segera menikmati hasil kerjanya, dan tidak mau direpotkan dengan hal-hal yang jlimet yang berakar pada sikap dan pemikiran sosial-budaya masyarakat nelayan tradisional desa Bandaran.
Lembaga-lembaga “Kuasi” Investasi Tradisional: Arisan, Hutang, dan Titip Uang
Dalam seluruh aktivitas yang berkaitan dengan “investasi” uang, arisan dan titip uang merupakan gejala umum yang dipraktikkan hampir oleh setiap penduduk nelayan di desa Bandaran, di samping hutang atau kredit.
Di desa Bandaran terdapat tidak kurang dari 20-an kelompok arisan dengan jumlah perolehan arisan bisa mencapai jutaan bahkan puluhan juta. Keanggotaan para nelayan dalam kelompok arisan bisa lebih dari satu. Hasil uang yang diperoleh dari hasil arisan ini mereka sertakan lagi dalam kelompok-kelompok arisan yang lain, sehingga yang bersangkutan bisa memperoleh modal untuk membuka usaha perdagangan kecil-kecilan (pedagang kelontong), membuat rumah, menyelenggarakan lamaran dan pesta perkawinan, naik haji, dan atau dibelikan perahu/jaring kecil untuk melanggengkan matapencaharian mereka sebagai nelayan. Hal ini, juga berlaku di kalangan para juragan pemilik kapal/perahu dengan jumlah omset arisan yang lebih besar (Rp.10 juta – Rp.50 juta). Oleh karena itu, sejumlah juragan kapal/perahu tidak hanya memiliki lebih dari satu armada kapal/perahu besar yang berharga ratusan juta rupiah, tetapi mereka juga mampu mengembangkan bisnis lain seperti membuka toko, tetapi kebanyakan menginvestasikannya dengan membeli mobil-mobil penumpang (colt diesel) untuk usaha tranportasi jurusan Pamekasan-Kamal.
“Hutang” (aotang) sebagai salah satu karakteristik perekonomian desa tradisional, dalam banyak hal hampir selalu tidak menguntungkan secara ekonomis bagi si penghutang atau peminjam (kreditur). Hal ini, tampaknya kurang disadari oleh masyarakat nelayan tradisional di desa Bandaran, sehingga sampai kini pun masyarakat setempat masih banyak terlibat dalam praktik hutang dan kredit, selain menggabungkan diri ke dalam kelompok-kelompok arisan yang menjamur di desa Bandaran, sebagaimana telah dibicarakan di atas. Hutang atau kredit (ngredit) yang dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat, umumnya tidak dalam kerangka hubungan kerja antara nelayan dan juragan. Hutang atau permintaan kredit biasanya dilakukan oleh para nelayan kepada orang-orang kaya (oreng sogi) tetangga-tetangga mereka sendiri yang sama sekali tidak memiliki hubungan kerja dengan dirinya, akan tetapi, pada umumnya mereka lebih sering meminjam uang kepada kepala-kepala arisan yang banyak memegang uang-uang titipan para anggotanya, dengan imbalan berupa bunga yang besarnya sekitar 5% perbulan, tergantung pada besarnya jumlah hutang/kredit.
Dalam kasus hubungan hutang-piutang atau kredit antara nelayan dan bakul ikan, seorang nelayan hampir tidak pernah melakukan pembayaran dalam bentuk penyerahan ikan kepada bakul dengan harga yang ditentukan secara sepihak oleh bakul. Hutang uang tetap dibayar dengan uang, yang diberikan dari hasil penjualan ikan mereka. Kalaupun para nelayan tadi seakan terikat oleh akad jual-beli ikan dengan bakul, hal tersebut karena bakul telah memberikan “uang perangsang” dan barang-barang perangsang lain, tanpa mempengaruhi penetapan harga ikan yang dijualkan atau diserahkan kepada bakul. Dalam hal ini, tidak terjadi praktik ijon dari para bakul terhadap nelayan yang menjadi kliennya, di mana harga jual ikan dari nelayan tersebut ditetapkan sebelumnya dan di bawah harga pasar. Harga jual ikan dari bakul tetap mengikuti harga pasar, kalaupun nelayan tadi menerima uang penjualan ikannya di bawah harga jual yang secara riil diterima oleh bakul, hal tersebut lebih merupakan sebagai “komisi” atau “uang jasa” yang mereka anggap wajar atas kerjanya menjualkan ikan nelayan tersebut. Itupun, jumlahnya hanya berkisar antara Rp.5.000,00 hingga Rp.10.000,00. Dengan perkataan lain, permintaan hutang atau kredit dari seorang nelayan kepada para bakul patronnya, lebih dimaksudkan sebagai upaya dari kedua belah pihak untuk memelihara hubungan perdagangan, sehingga keduanya sama-sama mendapatkan manfaat.
Keterlibatan masyarakat nelayan setempat dalam praktik hutang-piutang atau kredit, tampaknya banyak disebabkan oleh sikap hidup mereka yang “kurang menjangkau masa depan”. Bagi mereka, “apa yang diperoleh sekarang, habiskan sekarang juga, besok cari lagi” (ollena lako/ora’ pabali ka lako/ora’, lagguna nyare pole). Sikap hidup ini, juga berlaku bagi penduduk Desa Bandaran di kampung Montor dan Nagger yang bermatapencaharian sebagai petani. Berhemat, menabung atau melakukan investasi uang dan barang untuk pengembangan usaha lain maupun untuk kebutuhan masa depan, hampir-hampir tidak dimiliki oleh sebagian terbesar masyarakat, kecuali para pemilik modal dan pedagang besar. Namun demikian, sikap hidup mereka tidak dapat dikatakan sebagai sikap hidup “boros”, yang lebih berkonotasi pada sikap menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu, tetapi lebih dikarenakan mereka ingin menyepadankan antara “kerja” dan “hasil kerja” untuk memperoleh kepuasan diri baik secara fisik, psikologis dan “sosial” setelah mereka berjerih-payah seharian atau sehari-semalam menangkap ikan. Sementara itu mereka pun tidak perlu investasi untuk ikan di laut, sebagaimana layaknya mereka yang hidup dari pertanian. Hutang atau kredit yang mereka peroleh pada umumnya tidak diinvestasikan untuk menambah modal usaha tetapi untuk kebutuhan “habis pakai”, seperti membangun rumah, lamaran dan pesta perkawinan, membeli peralatan rumah tangga, atau barang-barang berharga seperti perhiasan emas (kalung, gelang, cincin) terutama ketika akan menjelang lebaran untuk memenuhi kebutuhan sosial dan budaya mereka.
Dengan adanya “lembaga-lembaga keuangan informal” dan sistem “kuasi investasi” semacam itu, praktis keberadaan Bank, Koperasi Desa, dan semacamnya tidak banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Hal ini dikarenakan kesederhanan pemikiran ekonomi mereka dan ketidakinginan mereka berhubungan dengan hal-hal yang bersifat prosedural. Di lain pihak, “lembaga-lembaga keuangan informal” dan sistem “kuasi investasi” tersebut telah memungkinkan struktur ekonomi di desa mereka dapat dibangun dan dikembangkan atas dasar kemampuan ekonomi lokal atau secara “berswasembada”.
Penutup
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aktivitas nelayan (oreng majheng), sebagai aktivitas ekonomi utama masyarakat desa pesisiran tradisional di desa Bandaran Madura seperti halnya aktivitas-aktivitas perekonomian lainnya, tumbuh dan berkembang secara timbal-balik dengan aspek-aspek sosial dan budaya masyarakat setempat. Aktivitas nelayan meliputi banyak aspek antara lain sistem penangkapan ikan yang digunakan, organisasi dan pola kerjasama antar-nelayan, hubungan-hubungan ekonomi dalam praktik perdagangan ikan di antara nelayan-bakul-tengkulak ikan, maupun keterlibatan para pelaku ekonomi lokal dalam pengembangan struktur ekonomi di tingkat lokal.
Pola relasi kerja baik antara jraghan perahu, jraghan kepala dan phandiga, atau antar anggota nelayan sendiri, bukan semata-mata terjadi dalam kerangka hubungan ekonomis, tetapi lebih bersifat “kolegialisme” dan “kekeluargaan”, sekalipun terdapat klasifikasi di antara mereka sesuai dengan spesifikasi kerja masing-masing. Hubungan di antara mereka pun sangat longgar, terbuka, suka-hati dan didasarkan atas “kesertaan secara sukarela”; tetapi dalam kasus-kasus tertentu bahkan seorang juragan pemilik perahu harus merekrut keanggotaan nelayannya dengan “cara membeli”. Hal ini menunjukkan betapa faktor-faktor sosial dan budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi.
Munculnya pelaku-pelaku ekonomi lokal (juragan, bakul dan tengkulak ikan) dalam relasi perdagangan ikan, tidak saja memiliki arti penting bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi para nelayan yang menjadi “kliennya”, tetapi di lain pihak juga telah menciptakan hubungan “patron-klien” yang cenderung melahirkan “ketergantungan ekonomis” bagi umumnya para nelayan. Kecenderungan ini pada dasarnya bukanlah karena alasan-alasan ekonomis semata (untuk mendapatkan hutang atau kredit), tetapi lebih disebabkan karena para nelayan ingin segera menikmati hasil kerjanya, dan tidak mau direpotkan dengan hal-hal yang jlimet yang berakar pada sikap sosial-budaya masyarakat setempat. Faktor ini pula yang akhirnya melahirkan sistem pengelolaan uang dan modal dalam “lembaga-lembaga keuangan informal” yang bersifat “kuasi investasi” seperti arisan dan titip uang.
Sosok “nelayan tradisional” Madura di desa Bandaran, seperti juga nelayan-nelayan yang lain, kurang memiliki orientasi ke masa depan, atau hal-hal yang “jlimet” lainnya. Kesertaan mereka dalam arisan, titip uang, kredit dan hutang untuk keperluan lamaran, perhelatan perkawinan, atau untuk membeli perangkat rumah tangga dan persiapan lebaran, selain dimaksudkan untuk memperoleh nilai ekonomis, sekaligus nilai-nilai sosial dan budaya. Dengan sikap hidup demikian, kerja keras adalah “tradisi”. Tiada hari tanpa kerja adalah “motto” hidup keseharian masyarakat nelayan tradisional Desa Bandaran.
Hal-hal di atas merupakan sejumlah karakteristik terpenting dari masyarakat desa nelayan tradisional di desa Bandaran, yang justru telah memungkinkan struktur ekonomi di desa mereka dapat dibangun dan dikembangkan atas dasar kemampuan ekonomi lokal atau secara “berswasembada”. Berbagai bentuk dan pola perilaku ekonomi masyarakat nelayan tradisional desa Bandaran di atas, tidak lain sebagai upaya (ikhtiar) mereka untuk senantiasa dapat mempertahankan hidup sesuai dengan tuntutan kehidupan sosial, budaya, sekaligus ekonomi yang senantiasa berubah ke arah yang lebih “modern” dan “praktis”, tetapi tetap bergerak dalam kerangka sebuah tradisi.
Langganan:
Postingan (Atom)